Sabtu, 31 Agustus 2019

KONSEP TEORITIS MANAJEMEN RISIKO DALAM PERBANKAN SYARIAH


Description: Hasil gambar untuk logo iain batusangkar
MAKALAH
MANAJEMEN RISIKO BANK

Tentang
KONSEP TEORITIS MANAJEMEN RISIKO DALAM PERBANKAN SYARIAH

Oleh
ASTRI AYUNDA
1730401022

Dosen Pembimbing:
IFELDA NENGSIH, S.EI, MA


JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
1441 H/2019 M



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perbankan syariah adalah lembaga investasi dan perbankan yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Bank syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang tidak terlepas dari risiko. Bank syariah harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik atau khas. Selain itu, bank syariah mempunyai risiko yang lebih besar bila dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini disebabkan karena bank syariah mengalami kesulitan dalam menghadapi risiko perubahan suku bunga karena dalam sistem perbankan syariah tidak dibenarkan praktik hadging.
Untuk mengatasi risiko yang akan timbul di perbankan syariah baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, di perlukannnya suatu manajemen risiko yang sistematis sehingga risiko dapat diminimalisir atau dapat dikendalikan. Jika di perbankan syariah memiliki manajemen resiko yang baik dan sistematis maka tingkat kepercayaan nasabah untuk menyimpan dananya ke bank syariah akan meningkat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perbankan syariah dan resiko ?
2.      Bagaimana perbankan syariah dan regulasi ?
3.      Bagaimana resiko dan kecukupan modal dari bank syariah ?
4.      Bagaimana dampak resiko terdapat bank syariah ?
5.      Bagaimana kebutuhan perbankan syariah terhadap regulasi dan manajemen resiko ?
C.    Tujuan Pembelajaran
1.      Untuk mengetahui perbankan syariah dan resiko
2.      Untuk mengetahui perbankan syariah dan regulasi
3.      Untuk mengetahui resiko dan kecukupan modal dari bank syariah
4.      Untuk mengetahui dampak resiko terdapat bank syariah
5.      Untuk mengetahui kebutuhan perbankan syariah terhadap regulasi dan manajemen resiko




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perbankan Syariah dan Risiko
Risiko merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Risiko juga diartikan sebagai probilitas sesuatu outcome yang berbeda dengan outcome yang diharapkan. Secara garis risiko dapat dikategorikan dalam dua kelompok yakni risiko yang dapat di hindari dan risiko yang tidak dapat dihindari.
Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan tidak bisa dipisahkan dari risiko yang muncul dari usaha tersebut. Timbulnya resiko dalam lembaga keuangan sering diindetikkan dengan adanya return (hasil). Hal ini karena sebuah resiko cenderung mempunyai hubungan positif dengan return yang artinya semakin besar risiko dari usaha atau bisnis, maka semakin besar pula kemungkinan return yang diharapkan. (Sumar'in, 2012, hal. 109)
Bank syariah sebagai salah satu lembaga intermediary dan seiring dengan situasi ligkungan eksternal dan internal dalam perbankan yang mengalami pengembangan pesat. Bank syariah akan selalu dihadapkan dengan berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang beragan dan melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam konteks perbankan merupakan satu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tida dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan pemodalan bank. (Karim, 2010, hal. 255)
Manajemen risiko diartikan sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Proses manajemen risiko merupan tindakan dari keseluruhan entitas terkait di dalam organisasi. Adapun tindakan berkesinambungan yang dimaksud tersebut meliputi identifikasi, kauntifikasi, menunjukkan sikap, menetapkan solusi serta melakukan monitoring dan pelaporan risiko. Mengacu pada pendapat SBC Warburg, manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang digunakan organisasi, untuk mengelola, memonitoring dan mengendalikan eksposur organisasi terhadap risiko. (Sumar'in, 2012, hal. 109)
Selain itu, ada beberapa alasan mengapa manajemen risiko harus diterapkan di perbankan syariah dan menjadi bagian penting manajemen bank syariah, yaitu:
1.      Sebagai tindakan lanjut dari penerapan Bassel Accord II yang merupakan penyempurnaan dari Bassel Accord I, di mana bank syariah tidak terlepas dari risiko global yang terjadi pada dunia perbankan.
2.      Terdapat kondisi yang tidak menentu dalam transaksi perbankan syariah lebih dari perbankan konvensional yang menebabkan perbankan mau tidak mau harus menerapkan manajemen risiko.
3.      Bank adalah perusahaan jasa yang pendapatannya diperoleh dari interaksi dengan nasabah sehingga risiko tidak mungkin tidak ada.
4.      Dengan mengetahui risiko maka kita dapat mengantisipasi dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam menghadapi permasalahan.
5.      Dapat lebih menumbuhkan pemahaman pengawasan mlekat, merupakan fungsi sangat penting dalam aktivitas operasional.
Apabila ditinjau dari sisi sejarah krisis perbankan nasional, ada beberapa alasan mengapa bank-bank banyak yang luiqidasi pada tahun 1998, beberapa di antaranya adalah:
1.      Pembiayaan berlebihan pada sektor ekonomi yang jenuh dan tidak produktif (properti dan industri lain yang unstable, yang tergantung pada bahan baku atau bahan jadi import)
2.      Pembiayaan pada grup sendiri dan pelanggaran BMPK (batas maksimum pemberian kredit) yang terjadi pada Bank SUMA, BDNI, BUN, dan sebagainya. Dari kasus-kasus tersebut tercatat kerugian negara mencapai Rp. 600 Triliyun. (Siswanto, 2008, hal. 149-150)

B.     Perbankan Syariah dan Regulasi
Perbankan syariah merupakan bidang kegiatan ekonomi syariah pertama yang berkembangluas di Indonesia pada awal abad 20. Meskipun pada awalnya kegiatan perbankan syariah ini hanya dilakukan oleh satu perusahaan perbankan, yaitu Bank Muamalat Indonesia yang melakukan kegiatan perbankan dengan prinsip syariah secara menyeluruh, kegiatan perbankan syariah kemudian diikuti dengan pendirian Bank Umum Syariah (BUS) lainnya, pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS) oleh bank-bank konvensional, dan pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). (Al-Hakim, 2013, hal. 18)
Menurut Miranda Gultom sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, yaitu:
1.      Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram.
2.      Trend kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas.
3.      Sistem ekonomi syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat krisis ekonomi. Ketika bank-bank konvensional tumbang dan butuh suntikan dana pemerintah hingga ratusan trilyun, Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank syariah pertama di Indonesia, mampu melewati krisis dengan selamat tanpa bantuan dana pemerintah sepeserpun.
4.      UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di Indonesia.
5.      Tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah ( LKS) yang saling menopang. Bank Syariah dapat menggunakan asuransi syariah untuk menutup risiko pembiayaan terhadap nasabahnya. Sebaliknya asuransi syariah dapat menyimpan dananya di Bank Syariah, pasar modal syariah, maupun reksadana syariah. (Imaniyati, 2013, hal. 21-22)
Pengaturan kegiatan perbankan syariah pertama kali diatur dalam UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dengan menyebut istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”, tanpa memberikan definisi prinsip bagi hasil tersebut. Definisi prinsip bagi hasil disebutkan dalam PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil Pasal 2 yaitu prinsip bagi hasil berdasarkan Syari’at yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam: (a) menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/ pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya; (b) menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja termasuk kegiatan usaha jual beli; (c) menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
Pada UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” diubah dengan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”. Disebutkan definisi prinsip syariah dalam Pasal 1 angka 13 adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (muddharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemiiikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Sepuluh tahun berikutnya (Barlinti, 2010:227), pemerintah mensahkan UU No. 21 Tahun 2008 yang khusus mengatur perbankan syariah. Istilah “bank berdasarkan prinsip syariah diubah dengan istilah “bank syariah”. Dua bentuk bank syariah disebut dengan Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan bank-bank syariah yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Pengertian  prinsip syariah dalam UU No. 21 Tahun 2008 ini telah diubah dari pengertian yang diatur dalam UU No.10 Tahun 1998, yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Pengertian pembiayaan juga mengalami perubahan dari ketentuan sebelumnya, dengan pengertian yang lebih luas lagi mencakup bentuk-bentuk transaksi yang dapat dilakukan dalam kegiatan pembiayaan tersebut baik dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Bank Umum konvensional dapat mendirikan unit usaha syariah. Ketentuan mengenai Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur dalam PBI No. 6/24/PBI/ 2004. Pada pelaksanaan kegiatan perbankan syariah, dengan dibentuknya DSN pada tahun 1999 dan penempatan DPS pada LKS, terdapat perubahan dalam ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh BI. Dalam penyesuaian terhadap kegiatan perbankan syariah,dikeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Kemudian pada tahun 2004, SK Direksi BI tersebut dicabut dengan PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum. Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam PBI ini diatur bahwa dalam setiap bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib ditempatkan DPS yang memiliki tugas untuk mengawasi penerapan syariah dalam kegiatan usaha bank tersebut. Tugas, wewenang, dan tanggung jawab DPS antara lain memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN, dan mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN (Pasal 27 ayat (1) PBI No. 6/24/PBI/2004).
Puncak dari regulasi perbankan syariah pada akhirnya mengerucut pada pengesahan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dalam menyelenggarakan kegiatan usaha perbankan syariah, bank syariah harus berpedoman pada prinsip syariah. Prinsip Syariah yang dimaksud oleh UU ini tertuang pada Pasal 1 angka 12 yaitu “prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan dasar penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah ini ditentukan bahwa terdapat dalam fatwa yang dibuat oleh lembaga yang berwenang.Mengenai lembaga yang berwenang menerbitkan fatwa, secara jelas dapat terlihat pada ketentuan Pasal 26. Pada Pasal 26 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditentukan bahwa Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dalam melaksanakan kegiatan usaha dan atau produk dan jasa syariahnya wajib tunduk kepada Prinsip Syariah sebagaimana yang difatwakan oleh MUI. (Al-Hakim, 2013, hal. 18-21)

C.    Risiko dan Kecukupan Modal
Permodalan berfungsi sebagai sumber utama pembiayaan terhadap kegiatan operasional, penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Modal yang dimiliki oleh suatu bank pada dasarnya harus cukup untuk menutupi seluruh risiko usaha yang dihadapi bank.
Untuk memastikan bahwa industri perbankan memiliki permodalan   yang cukup dalam mendukung kegiatan usahanya, Bank Indonesia bertanggungjawab menentukan jumlah minimum permodalan yang harus dimiliki bank dan mengeluarkan ketentuan mengenai permodalan minimum (regulatory capital). Pemenuhan regulatory capital tersebut menjadi salah satu komponen penilaian dalam pengawasan bank yang tercermin dari pemenuhan rasio kecukupan modal. (Idroes, 2008, hal. 66)
Kecukupan modal adalah suatu regulasi perbankan yang menetapkan suatu kerangka kerja mengenai bagaimana bank dan lembaga penyimpanan harus menangani permodalan mereka (Kartika, 2014). Kecukupan Modal menggambarkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aset produktif yang mengandung risiko, serta untuk pembiayaan dalam asset tetap dan investasi. Modal yang memadai dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, karena mengindikasikan bahwa bank dapat menanpung kemungkinan risiko kerugian yang akan dialami oleh bank akibat kegiatan operasional bank. Dengan begitu, kecukupan modal akan berdampak pada meningkatnya keuntungan atau profitabilitas yang diperoleh bank melalui bunga pinjaman kredit. CAR merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kecukupan modal bank.CAR dapat diperoleh melalui perhitungan rasio atau perbandingan antara modal sendiri dengan ATMR.
Hasil penelitian Akhtar, Ali dan Sadaqat (2011) menunjukkan bahwa semakin besar Capital Adequacy Ratio (CAR) maka profitabilitas bank syariah yang diperoleh bank akan semakin besar pula. Karena semakin besar Capital Adequacy Ratio(CAR) maka semakin tinggi permodalan bank dalam menjaga kemungkinan timbulnya risiko kerugian pada kegiatan usahanya, sehingga kinerja bank juga akan meningkat. Kinerja bank yang meningkat berarti memberikan kontribusi lebih pada profitabilitas. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Margaretha dan Zai (2013), Anggreni dan Suardhika (2014) serta Saputra dan Budiasih (2016) yang menunjukkan bahwa CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas bank konvensional. Semakin besarnya CAR maka dapat meningkatkan profitabilitas (ROA), karena bank dapat membiayai aktiva yang mengandung risiko. (Erma Setiawati, 2017, hal. 11-12)

D.    Dampak Risiko terhadap Bank Syariah
Dampak risiko yang dihadapi oleh bank syariah adalah sebagai berikut:
1.      Resiko yang Timbul dari Perubahan Kondisi Bisnis Nasabah setelah Pencairan Pembiayaan
Ada tiga risiko yang dapat ditimbulkan dari perubahan kondisi bisnis nasabah setelah pencairan pembiayaan, yaitu:
a.       Over Trading
Over trading terjadi ketika nasabah mengembangkan volume bisnis yang besar terhadap dengan dukungan modal yang kecil. Keadaan ini akan menimbulkan krisis cash flow.
b.      Adverce Trading
Adverce trading  terjadi karena ketika nasabah mengembangkan bisnisnya dengan mengambil kebijakan melakukan pengeluaran tetap (fixed cost) yang besar setiap tahunnya serta bermain di pasar yang tingkat volume  penjualan yang tidak stabil. Perusahaan yang mempunyai karakteristik seperti ini merupakan perusahaan yang secara potensial berada dalam posisi yang lemah serta berisiko tinggi.
c.       Liquidity Run
Liquidity run terjadi ketika nassabah mengalami kesulitan likuiditas karena kehilangan sumber pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang disebabkan oleh alasan yang tidak diduga. Kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya kepada bank. Sekalipun tidak dapat memprediksi arus likuiditas sebuah perusahaan, bank dapat menaksirkan apakah perusahaan tersebut memiliki likuiditas yang cukup atau dapat memperoleh dana tambahan untuk mempertahankan cash flow-nya seperti sedia kala.

2.      Risiko yang Timbul dari Komitmen Kapital yang Berlebihan
Sebuah perusahaan mungkin saja mengambil komitmen kapital yang berlebihan dan menandatangani kontrak untuk pengeluaran berskala besar. Apabila tidak mampu untuk menghargai komitmennya, bank dapat dipaksa untuk dilikuidasi. Bank maupun para suplier pembiayaan perdagangan seringkali tidak mampu untuk mengontrol suatu pengeluaran yang berlebihan dari sebuah perusahaan.

3.      Risiko yang Timbul dari Lemahnya Analisis Bank
Ada tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank, antara lain:
a.       Analisis Pembiayaan yang Keliru
Analisis pembiayaan yang keliru terjadi bukan karena perubahan kondisi nasabah yang tidak terduga, akan tetapi dikarenakan memang sejak awal nasabah yang bersangkutan berisiko tinggi. Keputusan pembiaaan bisa jadi adalah keputusan yang tidak valid. Kesalahan dalam pengambilan keputusan ini biasanya bersumber dari informasi yang tersedia. Untuk mengatasi hal ini, bank memerlukan staf yang terlatih dan berpengalaman dalam menyusun suatu pendekatan pembiayaan.
b.      Creative Accounting
Creative accouting merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan kebijakan akuntasi perusahaan yang memberikan keterangan menyesatkan tentang suatu laporan posisi keuangan perusahaan. Seorang manager harus mengetahui beberapa kesempatan tersebut serta harus mampu mengidentifikasi tanda-tanda bahwa perusahaan sedang melakukannya.
c.       Karakter Nasabah
Terkadang nasabah dapat memperdayakan bank dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet. Bank perlu waspada terhapat kemungkinan ini dengan mencoba untuk membuat suatu keputusan berdasarkan informasi objektif tentang karakter nasabah. (Karim, 2004: 251-252)

E.     Kebutuhan Perbankan Syariah terhadap Regulasi dan Manajemen Risiko
Manajemen risiko merupakan suatu pembuatan Keputusan yang berkontribusi terhadap tercapainya tujuan perusahaan dengan penerapan baik di tingkat aktivitas individual dan dalam bidang fungsional (Henz and Berg, 2010: 79-95). Sehingga, Manajemen resiko merupakan unsur penting yang penerapannya sangat perlu diperhatikan, khususnya pada bank sebagai salah satu lembaga keuangan (financial institution) (Umam, 2013: 134). Penerapan manajemen resiko dapat meningkatkan share holder value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa mendatang,meningkatkan metode dan prosespen gambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi, yang digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank, serta menciptakan infrastruktur manajemen resiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank (Rivai dan Arifin, 2013: 941). Bagi perbankan dapat meningkatkan share value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis didasarkan atas ketersediaan informasi, digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank, digunakan untuk menilai risiko yang melekat pada instrument atau kegiatan usaha bank yang relatif kompleks serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank (Yulianti:151-165). Praktik manajemen risiko di perbankan dapat menggunakan berbagai alternatif penilaian profil risiko. Standar Basel II menggunakan beberapa altenatif pendekatan macam-macam risiko dalam menghitung kebutuhan modal yang sesuai dengan profil risiko bank. Melalui implementasi Basel II pula, Bank Indonesia diharapkan dapat meningkatkan aspek manajemen risiko agar bank semakin resisten terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam negeri, regional maupun internasional (Goyal, 2010: 102-109). (Fasa, 2016, hal. 48-49)
Sedangkan kebutuhan regulasi perbankan syariah di Indonesia dimulai dalam UU No 7 Tahun 1992 dengan menggunakan istilah bank berdasarkan prinsip bagi hasil. UU No 10 tahun 1998 memberikan peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia. Namun demikian karena perbankan syariah memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan perbankan konvensional, maka diperlukan adanya undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah.  
UU Perbankan Syariah mengatur lebih konprehensif tentang bank syariah. UU ini memberikan peluang yang sangat besar untuk pertumbuhan bank syariah. Selain memberikan peluang, UU Perbankan Syariah juga memberikan tantangan bagi para pelaku bank syariah nasional agar dapat berkompetisi dengan bankir asing yang berminat terjun dalam perbankan syariah di Indonesia. (Imaniyati, 2013, hal. 38)






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perbankan syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang tidak luput dari resiko. Karena di perbankan syariah sangat banyak risiko yang akan dihadapi, seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko operasional. Dengan adanya resiko tersebut, maka perbankan syariah harus mempunyai sebuah regulasi untuk mengatasi atau mengurangi risiko yang akan dihadapi bank. Salah satu regulasinya terdapat dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan akan mengurangi risiko yang akan terjadi pada bank syariah. Selain itu, diperlukan juga manjemen risiko yang baik dan sistematis untuk mengendalikan risiko yang akan terjadi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Bank syariah dikatakan baik apabila bank tersebut mampu mengendalikan risiko yang terjadi atau meminimalisir risiko yang terjadi di bank tersebut sehingga manajemen risiko bank mempunyai peran yang penting di dalam perbankan syariah.








DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Hakim, S. (2013). Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia. Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 13, No. 1, Juni 2013.
Erma Setiawati, D. I. (2017). Pengaruh Kecukupan Modal, Resiko Pembiayaan, Efisien Operasional dan Likuiditas terhadap Profitabilitas (Studi pada Bank Syariah dan Bank Konvensional di Indonesia). Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 2 (2).
Fasa, M. I. (2016). Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia. Studi Ekonomi dan Bisnis Islam Volume I, Nomor 2.
Idroes, F. N. (2008). Manajemen Perbankan : Pemahaman Pendekatan 3 pilar Kesepakatan Basel II terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Imaniyati, N. S. (2013). Perkembangan Regulasi Pebankan Syariah di indonesia : Peluang dan Tantangan. Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia , 21-22.
Karim, A. (2004). Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Karim, A. (2010). Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Siswanto, M. S. (2008). Manajemen Bank : Konvensional & Syariah. Malang: UIN-Malang Press.
Sumar'in. (2012). Konsep Kelembagaan Bank Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar