
MAKALAH
MANAJEMEN
RISIKO BANK
Tentang
KONSEP
TEORITIS MANAJEMEN RISIKO DALAM PERBANKAN SYARIAH
Oleh
ASTRI
AYUNDA
1730401022
Dosen
Pembimbing:
IFELDA
NENGSIH, S.EI, MA
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
1441
H/2019 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perbankan syariah adalah lembaga
investasi dan perbankan yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Bank syariah merupakan salah satu lembaga keuangan yang tidak terlepas dari
risiko. Bank syariah harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik atau khas.
Selain itu, bank syariah mempunyai risiko yang lebih besar bila dibandingkan
dengan bank konvensional. Hal ini disebabkan karena bank syariah mengalami
kesulitan dalam menghadapi risiko perubahan suku bunga karena dalam sistem
perbankan syariah tidak dibenarkan praktik hadging.
Untuk mengatasi risiko yang akan
timbul di perbankan syariah baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, di
perlukannnya suatu manajemen risiko yang sistematis sehingga risiko dapat
diminimalisir atau dapat dikendalikan. Jika di perbankan syariah memiliki
manajemen resiko yang baik dan sistematis maka tingkat kepercayaan nasabah
untuk menyimpan dananya ke bank syariah akan meningkat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
perbankan syariah dan resiko ?
2.
Bagaimana
perbankan syariah dan regulasi ?
3.
Bagaimana
resiko dan kecukupan modal dari bank syariah ?
4.
Bagaimana
dampak resiko terdapat bank syariah ?
5.
Bagaimana
kebutuhan perbankan syariah terhadap regulasi dan manajemen resiko ?
C.
Tujuan
Pembelajaran
1.
Untuk
mengetahui perbankan syariah dan resiko
2.
Untuk
mengetahui perbankan syariah dan regulasi
3.
Untuk
mengetahui resiko dan kecukupan modal dari bank syariah
4.
Untuk
mengetahui dampak resiko terdapat bank syariah
5.
Untuk
mengetahui kebutuhan perbankan syariah terhadap regulasi dan manajemen resiko
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perbankan
Syariah dan Risiko
Risiko merupakan hal yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Risiko juga diartikan sebagai
probilitas sesuatu outcome yang berbeda dengan outcome yang
diharapkan. Secara garis risiko dapat dikategorikan dalam dua kelompok yakni
risiko yang dapat di hindari dan risiko yang tidak dapat dihindari.
Perbankan syariah sebagai lembaga
keuangan tidak bisa dipisahkan dari risiko yang muncul dari usaha tersebut.
Timbulnya resiko dalam lembaga keuangan sering diindetikkan dengan adanya return
(hasil). Hal ini karena sebuah resiko cenderung mempunyai hubungan positif
dengan return yang artinya semakin besar risiko dari usaha atau bisnis,
maka semakin besar pula kemungkinan return yang diharapkan. (Sumar'in,
2012, hal. 109)
Bank syariah sebagai salah satu
lembaga intermediary dan seiring dengan situasi ligkungan eksternal dan
internal dalam perbankan yang mengalami pengembangan pesat. Bank syariah akan
selalu dihadapkan dengan berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang
beragan dan melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam konteks perbankan
merupakan satu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated)
maupun yang tida dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak
negatif terhadap pendapatan dan pemodalan bank. (Karim, 2010, hal. 255)
Manajemen risiko diartikan sebagai
rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha
bank. Proses manajemen risiko merupan tindakan dari keseluruhan entitas terkait
di dalam organisasi. Adapun tindakan berkesinambungan yang dimaksud tersebut
meliputi identifikasi, kauntifikasi, menunjukkan sikap, menetapkan solusi serta
melakukan monitoring dan pelaporan risiko. Mengacu pada pendapat SBC Warburg,
manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang
digunakan organisasi, untuk mengelola, memonitoring dan mengendalikan eksposur
organisasi terhadap risiko. (Sumar'in, 2012, hal. 109)
Selain itu, ada beberapa alasan
mengapa manajemen risiko harus diterapkan di perbankan syariah dan menjadi
bagian penting manajemen bank syariah, yaitu:
1.
Sebagai
tindakan lanjut dari penerapan Bassel Accord II yang merupakan
penyempurnaan dari Bassel Accord I, di mana bank syariah tidak terlepas dari
risiko global yang terjadi pada dunia perbankan.
2.
Terdapat
kondisi yang tidak menentu dalam transaksi perbankan syariah lebih dari
perbankan konvensional yang menebabkan perbankan mau tidak mau harus menerapkan
manajemen risiko.
3.
Bank adalah
perusahaan jasa yang pendapatannya diperoleh dari interaksi dengan nasabah
sehingga risiko tidak mungkin tidak ada.
4.
Dengan
mengetahui risiko maka kita dapat mengantisipasi dan mengambil tindakan yang
diperlukan dalam menghadapi permasalahan.
5.
Dapat lebih
menumbuhkan pemahaman pengawasan mlekat, merupakan fungsi sangat penting dalam
aktivitas operasional.
Apabila ditinjau dari sisi sejarah
krisis perbankan nasional, ada beberapa alasan mengapa bank-bank banyak yang
luiqidasi pada tahun 1998, beberapa di antaranya adalah:
1.
Pembiayaan
berlebihan pada sektor ekonomi yang jenuh dan tidak produktif (properti dan
industri lain yang unstable, yang tergantung pada bahan baku atau bahan
jadi import)
2.
Pembiayaan pada
grup sendiri dan pelanggaran BMPK (batas maksimum pemberian kredit) yang
terjadi pada Bank SUMA, BDNI, BUN, dan sebagainya. Dari kasus-kasus tersebut
tercatat kerugian negara mencapai Rp. 600 Triliyun. (Siswanto, 2008, hal. 149-150)
B.
Perbankan
Syariah dan Regulasi
Perbankan syariah merupakan bidang kegiatan ekonomi
syariah pertama yang berkembangluas di Indonesia pada awal abad 20. Meskipun
pada awalnya kegiatan perbankan syariah ini hanya dilakukan oleh satu
perusahaan perbankan, yaitu Bank Muamalat Indonesia yang melakukan kegiatan
perbankan dengan prinsip syariah secara menyeluruh, kegiatan perbankan syariah
kemudian diikuti dengan pendirian Bank Umum Syariah (BUS) lainnya, pembentukan Unit
Usaha Syariah (UUS) oleh bank-bank konvensional, dan pendirian Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS). (Al-Hakim, 2013, hal. 18)
Menurut Miranda Gultom sekurang-kurangnya terdapat
lima faktor yang mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia,
yaitu:
1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram.
2. Trend kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, khususnya di kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas.
3. Sistem ekonomi syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat
krisis ekonomi. Ketika bank-bank konvensional tumbang dan butuh suntikan dana
pemerintah hingga ratusan trilyun, Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank
syariah pertama di Indonesia, mampu melewati krisis dengan selamat tanpa
bantuan dana pemerintah sepeserpun.
4. UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di
Indonesia.
5. Tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah ( LKS) yang saling menopang.
Bank Syariah dapat menggunakan asuransi syariah untuk menutup risiko pembiayaan
terhadap nasabahnya. Sebaliknya asuransi syariah dapat menyimpan dananya di
Bank Syariah, pasar modal syariah, maupun reksadana syariah. (Imaniyati, 2013, hal.
21-22)
Pengaturan kegiatan perbankan syariah pertama kali
diatur dalam UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dengan menyebut istilah
“bank berdasarkan prinsip bagi hasil”, tanpa memberikan definisi prinsip bagi
hasil tersebut. Definisi prinsip bagi hasil disebutkan dalam PP No. 72 Tahun
1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil Pasal 2 yaitu prinsip bagi
hasil berdasarkan Syari’at yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi
hasil dalam: (a) menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat
sehubungan dengan penggunaan/ pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan
kepadanya; (b) menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan
penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan
investasi maupun modal kerja termasuk kegiatan usaha jual beli; (c) menetapkan
imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank
dengan prinsip bagi hasil.
Pada UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, istilah “bank berdasarkan prinsip bagi
hasil” diubah dengan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”. Disebutkan
definisi prinsip syariah dalam Pasal 1 angka 13 adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan
atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (muddharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarakah), prinsip jual beli
barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya
pilihan pemindahan kepemiiikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh
pihak lain (ijarah wa iqtina).
Sepuluh tahun berikutnya (Barlinti, 2010:227),
pemerintah mensahkan UU No. 21 Tahun 2008 yang khusus mengatur perbankan
syariah. Istilah “bank berdasarkan prinsip syariah diubah dengan istilah “bank
syariah”. Dua bentuk bank syariah disebut dengan Bank Umum Syariah (BUS) dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan bank-bank syariah yang
melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Pengertian prinsip syariah dalam UU No. 21 Tahun 2008 ini
telah diubah dari pengertian yang diatur dalam UU No.10 Tahun 1998, yaitu
prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Pengertian pembiayaan juga mengalami perubahan dari ketentuan sebelumnya,
dengan pengertian yang lebih luas lagi mencakup bentuk-bentuk transaksi yang
dapat dilakukan dalam kegiatan pembiayaan tersebut baik dengan imbalan, tanpa
imbalan, atau bagi hasil.
Bank Umum konvensional dapat mendirikan unit usaha
syariah. Ketentuan mengenai Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah diatur dalam PBI No. 6/24/PBI/ 2004. Pada
pelaksanaan kegiatan perbankan syariah, dengan dibentuknya DSN pada tahun 1999
dan penempatan DPS pada LKS, terdapat perubahan dalam ketentuan-ketentuan yang
dibuat oleh BI. Dalam penyesuaian terhadap kegiatan perbankan
syariah,dikeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Kemudian
pada tahun 2004, SK Direksi BI tersebut dicabut dengan PBI No. 6/24/PBI/2004
tentang Bank Umum. Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah. Dalam PBI ini diatur bahwa dalam setiap bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib ditempatkan DPS yang memiliki
tugas untuk mengawasi penerapan syariah dalam kegiatan usaha bank tersebut.
Tugas, wewenang, dan tanggung jawab DPS antara lain memastikan dan mengawasi
kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN,
dan mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa
kepada DSN (Pasal 27 ayat (1) PBI No. 6/24/PBI/2004).
Puncak dari regulasi perbankan syariah pada akhirnya
mengerucut pada pengesahan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada
tanggal 16 Juli 2008. Dalam menyelenggarakan kegiatan usaha perbankan syariah,
bank syariah harus berpedoman pada prinsip syariah. Prinsip Syariah yang
dimaksud oleh UU ini tertuang pada Pasal 1 angka 12 yaitu “prinsip hukum Islam
dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Prinsip-prinsip
hukum Islam yang dijadikan dasar penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah ini
ditentukan bahwa terdapat dalam fatwa yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang.Mengenai lembaga yang berwenang menerbitkan fatwa, secara jelas dapat
terlihat pada ketentuan Pasal 26. Pada Pasal 26 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah ditentukan bahwa Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah
(UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dalam melaksanakan kegiatan
usaha dan atau produk dan jasa syariahnya wajib tunduk kepada Prinsip Syariah sebagaimana
yang difatwakan oleh MUI. (Al-Hakim, 2013, hal. 18-21)
C.
Risiko dan
Kecukupan Modal
Permodalan berfungsi sebagai sumber utama pembiayaan
terhadap kegiatan operasional, penyangga terhadap kemungkinan terjadinya
kerugian, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Modal yang dimiliki oleh
suatu bank pada dasarnya harus cukup untuk menutupi seluruh risiko usaha yang
dihadapi bank.
Untuk memastikan bahwa industri perbankan memiliki
permodalan yang cukup dalam mendukung
kegiatan usahanya, Bank Indonesia bertanggungjawab menentukan jumlah minimum
permodalan yang harus dimiliki bank dan mengeluarkan ketentuan mengenai
permodalan minimum (regulatory capital). Pemenuhan regulatory capital
tersebut menjadi salah satu komponen penilaian dalam pengawasan bank yang
tercermin dari pemenuhan rasio kecukupan modal. (Idroes, 2008, hal. 66)
Kecukupan modal adalah suatu regulasi perbankan yang
menetapkan suatu kerangka kerja mengenai bagaimana bank dan lembaga penyimpanan
harus menangani permodalan mereka (Kartika, 2014). Kecukupan Modal
menggambarkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi untuk
menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aset
produktif yang mengandung risiko, serta untuk pembiayaan dalam asset tetap dan
investasi. Modal yang memadai dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, karena
mengindikasikan bahwa bank dapat menanpung kemungkinan risiko kerugian yang
akan dialami oleh bank akibat kegiatan operasional bank. Dengan begitu,
kecukupan modal akan berdampak pada meningkatnya keuntungan atau profitabilitas
yang diperoleh bank melalui bunga pinjaman kredit. CAR merupakan indikator yang
sering digunakan untuk mengukur tingkat kecukupan modal bank.CAR dapat
diperoleh melalui perhitungan rasio atau perbandingan antara modal sendiri
dengan ATMR.
Hasil penelitian Akhtar, Ali dan Sadaqat (2011)
menunjukkan bahwa semakin besar Capital Adequacy Ratio (CAR) maka
profitabilitas bank syariah yang diperoleh bank akan semakin besar pula. Karena
semakin besar Capital Adequacy Ratio(CAR) maka semakin tinggi permodalan bank
dalam menjaga kemungkinan timbulnya risiko kerugian pada kegiatan usahanya,
sehingga kinerja bank juga akan meningkat. Kinerja bank yang meningkat berarti
memberikan kontribusi lebih pada profitabilitas. Hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Margaretha dan Zai (2013), Anggreni dan Suardhika (2014)
serta Saputra dan Budiasih (2016) yang menunjukkan bahwa CAR berpengaruh
positif dan signifikan terhadap profitabilitas bank konvensional. Semakin
besarnya CAR maka dapat meningkatkan profitabilitas (ROA), karena bank dapat
membiayai aktiva yang mengandung risiko. (Erma Setiawati, 2017, hal. 11-12)
D.
Dampak Risiko
terhadap Bank Syariah
Dampak risiko yang dihadapi oleh
bank syariah adalah sebagai berikut:
1.
Resiko yang
Timbul dari Perubahan Kondisi Bisnis Nasabah setelah Pencairan Pembiayaan
Ada tiga risiko yang dapat
ditimbulkan dari perubahan kondisi bisnis nasabah setelah pencairan pembiayaan,
yaitu:
a.
Over Trading
Over trading terjadi ketika nasabah mengembangkan volume bisnis yang besar
terhadap dengan dukungan modal yang kecil. Keadaan ini akan menimbulkan krisis cash
flow.
b.
Adverce Trading
Adverce trading terjadi karena ketika
nasabah mengembangkan bisnisnya dengan mengambil kebijakan melakukan
pengeluaran tetap (fixed cost) yang besar setiap tahunnya serta bermain
di pasar yang tingkat volume penjualan
yang tidak stabil. Perusahaan yang mempunyai karakteristik seperti ini
merupakan perusahaan yang secara potensial berada dalam posisi yang lemah serta
berisiko tinggi.
c.
Liquidity Run
Liquidity run terjadi ketika nassabah mengalami kesulitan likuiditas karena
kehilangan sumber pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang disebabkan oleh
alasan yang tidak diduga. Kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kemampuan
nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya kepada bank. Sekalipun tidak dapat
memprediksi arus likuiditas sebuah perusahaan, bank dapat menaksirkan apakah
perusahaan tersebut memiliki likuiditas yang cukup atau dapat memperoleh dana
tambahan untuk mempertahankan cash flow-nya seperti sedia kala.
2.
Risiko yang
Timbul dari Komitmen Kapital yang Berlebihan
Sebuah perusahaan mungkin saja
mengambil komitmen kapital yang berlebihan dan menandatangani kontrak untuk
pengeluaran berskala besar. Apabila tidak mampu untuk menghargai komitmennya,
bank dapat dipaksa untuk dilikuidasi. Bank maupun para suplier pembiayaan
perdagangan seringkali tidak mampu untuk mengontrol suatu pengeluaran yang
berlebihan dari sebuah perusahaan.
3.
Risiko yang
Timbul dari Lemahnya Analisis Bank
Ada tiga macam risiko yang timbul
dari lemahnya analisis bank, antara lain:
a.
Analisis
Pembiayaan yang Keliru
Analisis pembiayaan yang keliru
terjadi bukan karena perubahan kondisi nasabah yang tidak terduga, akan tetapi
dikarenakan memang sejak awal nasabah yang bersangkutan berisiko tinggi.
Keputusan pembiaaan bisa jadi adalah keputusan yang tidak valid. Kesalahan
dalam pengambilan keputusan ini biasanya bersumber dari informasi yang
tersedia. Untuk mengatasi hal ini, bank memerlukan staf yang terlatih dan
berpengalaman dalam menyusun suatu pendekatan pembiayaan.
b.
Creative
Accounting
Creative accouting merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan
kebijakan akuntasi perusahaan yang memberikan keterangan menyesatkan tentang
suatu laporan posisi keuangan perusahaan. Seorang manager harus mengetahui
beberapa kesempatan tersebut serta harus mampu mengidentifikasi tanda-tanda
bahwa perusahaan sedang melakukannya.
c.
Karakter
Nasabah
Terkadang nasabah dapat
memperdayakan bank dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet. Bank perlu
waspada terhapat kemungkinan ini dengan mencoba untuk membuat suatu keputusan
berdasarkan informasi objektif tentang karakter nasabah. (Karim, 2004: 251-252)
E.
Kebutuhan
Perbankan Syariah terhadap Regulasi dan Manajemen Risiko
Manajemen risiko merupakan suatu pembuatan Keputusan
yang berkontribusi terhadap tercapainya tujuan perusahaan dengan penerapan baik
di tingkat aktivitas individual dan dalam bidang fungsional (Henz and Berg,
2010: 79-95). Sehingga, Manajemen resiko merupakan unsur penting yang
penerapannya sangat perlu diperhatikan, khususnya pada bank sebagai salah satu
lembaga keuangan (financial institution) (Umam, 2013: 134). Penerapan manajemen
resiko dapat meningkatkan share holder value, memberikan gambaran kepada
pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa
mendatang,meningkatkan metode dan prosespen gambilan keputusan yang sistematis
yang didasarkan atas ketersediaan informasi, yang digunakan sebagai dasar
pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank, serta menciptakan
infrastruktur manajemen resiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing
bank (Rivai dan Arifin, 2013: 941). Bagi perbankan dapat meningkatkan share
value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian
bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang
sistematis didasarkan atas ketersediaan informasi, digunakan sebagai dasar
pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank, digunakan untuk menilai
risiko yang melekat pada instrument atau kegiatan usaha bank yang relatif
kompleks serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam
rangka meningkatkan daya saing bank (Yulianti:151-165). Praktik manajemen
risiko di perbankan dapat menggunakan berbagai alternatif penilaian profil
risiko. Standar Basel II menggunakan beberapa altenatif pendekatan macam-macam
risiko dalam menghitung kebutuhan modal yang sesuai dengan profil risiko bank.
Melalui implementasi Basel II pula, Bank Indonesia diharapkan dapat
meningkatkan aspek manajemen risiko agar bank semakin resisten terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam negeri, regional maupun
internasional (Goyal, 2010: 102-109). (Fasa, 2016, hal. 48-49)
Sedangkan kebutuhan regulasi perbankan syariah di
Indonesia dimulai dalam UU No 7 Tahun 1992 dengan menggunakan istilah bank
berdasarkan prinsip bagi hasil. UU No 10 tahun 1998 memberikan peluang yang
lebih besar untuk tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia.
Namun demikian karena perbankan syariah memiliki karakteristik yang khas
dibandingkan dengan perbankan konvensional, maka diperlukan adanya
undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah.
UU Perbankan Syariah mengatur lebih konprehensif
tentang bank syariah. UU ini memberikan peluang yang sangat besar untuk
pertumbuhan bank syariah. Selain memberikan peluang, UU Perbankan Syariah juga
memberikan tantangan bagi para pelaku bank syariah nasional agar dapat
berkompetisi dengan bankir asing yang berminat terjun dalam perbankan syariah
di Indonesia. (Imaniyati,
2013, hal. 38)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perbankan syariah merupakan salah
satu lembaga keuangan yang tidak luput dari resiko. Karena di perbankan syariah
sangat banyak risiko yang akan dihadapi, seperti risiko kredit, risiko pasar,
risiko likuiditas, dan risiko operasional. Dengan adanya resiko tersebut, maka
perbankan syariah harus mempunyai sebuah regulasi untuk mengatasi atau mengurangi
risiko yang akan dihadapi bank. Salah satu regulasinya terdapat dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan adanya undang-undang
tersebut diharapkan akan mengurangi risiko yang akan terjadi pada bank syariah.
Selain itu, diperlukan juga manjemen risiko yang baik dan sistematis untuk
mengendalikan risiko yang akan terjadi baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Bank syariah dikatakan baik apabila bank tersebut mampu mengendalikan
risiko yang terjadi atau meminimalisir risiko yang terjadi di bank tersebut
sehingga manajemen risiko bank mempunyai peran yang penting di dalam perbankan
syariah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Hakim, S. (2013). Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah
di Indonesia. Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 13, No. 1, Juni
2013.
Erma Setiawati, D. I. (2017). Pengaruh Kecukupan
Modal, Resiko Pembiayaan, Efisien Operasional dan Likuiditas terhadap
Profitabilitas (Studi pada Bank Syariah dan Bank Konvensional di Indonesia). Riset
Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 2 (2).
Fasa, M. I. (2016). Manajemen Risiko Perbankan
Syariah di Indonesia. Studi Ekonomi dan Bisnis Islam Volume I, Nomor 2.
Idroes, F. N. (2008). Manajemen Perbankan :
Pemahaman Pendekatan 3 pilar Kesepakatan Basel II terkait Aplikasi Regulasi dan
Pelaksanaannya di indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Imaniyati, N. S. (2013). Perkembangan Regulasi
Pebankan Syariah di indonesia : Peluang dan Tantangan. Perkembangan Regulasi
Perbankan Syariah di Indonesia , 21-22.
Karim, A. (2004). Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta:
PT RajaGrafindo.
Karim, A. (2010). Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta:
PT RajaGrafindo.
Siswanto, M. S. (2008). Manajemen Bank :
Konvensional & Syariah. Malang: UIN-Malang Press.
Sumar'in. (2012). Konsep Kelembagaan Bank Syariah. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar