
MAKALAH
MANAJEMEN
LEMBAGA KEUANGAN SYARAH NON BANK
Tentang
INSTITUSI
WAKAF
Oleh:
ASTRI
AYUNDA
1730401022
Dosen
Pembimbing:
DR. H. SYUKRI ISKA, M. AG
IFELDA NENGSIH, SEI, MA
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
1439
H/2018 M
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam perjalanannya wakaf
terus berkembang dan akan berkembang sesuai laju perubahan zaman dengan
berbagai inovasi-inovasi relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak atas Kekayaan
Intelektual (Haki) dan ain-lain. Di Indonesia, wakaf sudah mendapat perhatian
yang serius dengan diterbitkannya Undang-undnag No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dan PP No 42 Tahun 2006 tentang Pelaksaannya.Wakaf dalam konteksnya yang
sekarang memiliki tiga ciri utama.Pertama, pola managemen wakaf harus
terintegrasi.Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Ketiga, asas transparansi dan
tanggung jawab.
Wakaf mempunyai peran penting dalam
pembangunan masyarakat dan bahkan dalam
pembangunan peradaban manusia. Dalam hal ini adanya kesinambungan
manfaat pada donasi wakaf, kaum muslimin, disepanjang sejarah Islam menemukan
bahwa bentuk khusus dari sumbangan karikatif ini merupakan cara terbaik untuk
menjelaskan keterikatan mereka dengan ajaran Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
mekanisme operasional institusi wakaf ?
2.
Bagaimanaperkembangan
institusi wakaf di Indonesia ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui mekanisme operasional institusi wakaf
2. Untuk mengetahui perkembangan institusi wakaf di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Mekanisme
Operasional Institusi Wakaf
Menurut bahasa, wakaf berasal dari
bahasa Arab Waqafa yang berarti menahan atau berhenti di tempat. Wakaf
bermakna “pembatasan” atau “larangan”. Sehingga wakaf digunakan dalam Islam
untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta benda tertentu untuk
kemanfaatan sosial yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta
wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan.
Dalam peristilahan syara’ secara
umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (kepemilikan) asal atau disebut tahbisu ashli, lalu menjadikan
manfaatnya untuk kepentingan umum. Tahbisul Ashli sendiri mempunyai arti
menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan,
digadaikan, disewakan, dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah
dengan menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (waqif) tanpa
imbalan. dijelaskan dalam al-Qur’an yang mengarah kepada wakaf adalah surat
al-Baqarah ayat 261
Potensi wakaf di Indonesia begitu
besar, hal ini terlihat dari besarnya jumlah tanah wakaf di Indonesia yang
mencapai 300 ribu hektar tanah. Oleh karena itu, negara telah mengkoordinir
pengelolaan wakaf dengan mendirikan institusi wakaf yang bernama Bada Wakaf
Indonesia (BWI) yang dikukuhkan dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004. Selain
itu, pemerintah juga mengukuhkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang
dikukuhkan oleh mentri dengan tujuan membuat akta ikrar wakaf. (Iska, Nengsih,
2016: 157-158)
1.
Mekanisme
Operasional Institusi Zakat
Pelaksanaan wakaf dapat dilaksanakan
apabila memenuhi unsur wakaf, yaitu:
a.
Wakif (orang
yang berwakaf)
b.
Nazhir
(pengelola zakat)
c.
Harta benda
wakaf
d.
Ikrar wakaf
e.
Peruntukan
harta benda wakaf
f.
Ikrar wakaf
Berkaitan dengan harta, maka UU No.
41 tahun 2004 menyebutkan bahwa harta benda yang bisa diwakafkan adalah:
a.
Benda Tidak
Bergerak
Adapun yang dimaksudkan benda tidak
bergerak meliputi:
1)
Hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang
sudah maupun yang belum terdaftar
2)
Bangunan atau
bagian bangunan yang terdiri dari atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1)
3)
Tanaman dan
benda lain yang berkaitan dengan tanah
4)
Hak milik atas
satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
5)
Benda tidak
bergerak lain sesuai dengan ketentuan syriah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
b.
Benda Bergerak
1)
Uang
2)
Logam mulia
3)
Surat berharga
4)
Kendaraan
5)
Hak atas
kekayaan intelektual
6)
Hak sewa; dan
7)
Benda bergerak
lain yang sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Dalam institusi wakaf, maka untuk optimalisasi
pengelolaan wakaf dibentuklah nazir wakaf. Nazir wakaf adalah
seseorang yang bertanggung jawab mengawasi perputaran, perkembangan,
pertumbuhan, penjagaan, pengelolaan wakaf dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
dalam institusi wakaf yang perlu dioptimalkan adalah nazirnya. Adakalanya oleh
penerima wakaf jika wakif mensyaratkan agar dia mengelola wakaf.
Adakalanya juga selain mereka, yaitu pihak lain yang tidak ada kitannya dengan
dengan wakaf jika memang dia mendapat kewenangan mengelola wakaf. Pengelolaan
wakaf harus mengikuti persyaratan dari waqif, karena para sahaba
mewakafkan dan menentuan persyaratan pada seseorang yang mengelola wakaf.
(Iska, Nengsih, 2016: 164-165)
Pengelola wakaf menurut
Perundang-undangan Indonesia sebagai berikut:
a.
Syarat-syarat
Nazhir
Nazhir adalah pengelola harta wakaf.
Dalam Undang-undang RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, nazhir merupakan unsur
wakaf yang harus dipenuhi bahkan dalam perspektif fiqih, nazhir dapat pula
perorangan secara sendiri asalkan ditunjuk oleh waqif/atau waqif dapat
menunjukkan dirinya sendiri sebagai nadzir perseorangan, organisasi atau badan
hukum dengan memenuhi syarat-syarat:
1)
Nazhir
Perseoragan
a)
Warga Negara
Indonesia
b)
Beragama Islam
c)
Dewasa
d)
Amanah
e)
Mampu secara
jasmani dan rohani;
f)
Tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum
2)
Nazhir
Organisasi
a)
Pengurus
organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
sebagaimana dimaksud pada syarat perseoangan di atas
b)
Organisasi yang
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam
3)
Nazhir Badan
Hukum
a)
Pengurus badan
hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada syarat perseorangan diatas
b)
Badan hukum
Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
c)
Badan hukum
yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,
dan/atau keagamaan Islam
b.
Pengangkatan dan Pemberhentian Nazhir
Pengankatan dan pemberhentian
nazhir, secara tersurat boleh dikatakan tidak ada suatu ketentuan yang jelas
baik oleh peraturan perundangan terdahulu seperti PP, KHI maupun dalam UU No.
41 tahun 2004. Dengan hadirnya UU No. 41 tahun 2004 yaitu pengakuan adanya
nazhir perseorangan, organisasi, dan badan hukum serta memperoleh pembinaan
dari Menteri. Disamping itu, UU No. 41 tahun 2004 juga mengakomodir Badan Wakaf
Indonesia (BWI) yang menetapkan kebijakan tentang harta benda wakaf dan
pengelolaannya serta memberikan bimbingan kepada para pengelolanya serta
bertindak selaku nazhir wakaf berskala nasional.
Dalam pelaksanaan tugasnya, BWI
dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah,
organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional dan pihak lain yang
dipandang perlu atau BWI dapat membentuk perwakilan di provinsi daan/atau
kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan sebagaimana yang dituangkan dalam pasal
67 UU No. 41 tahun 2004.
c.
Hak dan
Kewajiban Nazhir
Kewajiban nazhir yang diatur dalam
UU No. 41 tahun 2004, yaitu:
1)
Melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf
2)
Mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya
3)
Mengawasi dan
melindungi harta benda wakaf
4)
Melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia
Sedangkan hak
nazhir adalah menyangkut penghargaan atas jasa atau jeri payah dari nazhir yang
telah mengelola harta wakaf baik berupa honor atau gaji maupun fasilitas wakaf
yang telah dikelola. Nazhir diberikan hak untuk memperoleh penghasilan yang
layak sebagai imbalan atas jerih payahnya mengelola wakaf. Hak nazhir
dirumuskan pasal 12 UU No. 41 tahun 2004, yaitu nazhir dapat menerima imbalan
dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda yang besarnya
tidak boleh melebihi 10%.
d.
Lembaga
Keuntungan Syariah (LKS) sebagai Pengelola Wakaf
Menurut UU No. 41 tahun 2004 bab II
pasa 28 menyebutkan bahwa waqif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang
melalui Lembaga Keuangan Syariah. Menurut pakar hukum Syariah. Menurut pakar
hukum Syariah, funding structures ataupun financing vehick yang
dapat digunakan untuk mengelola asset wakaf tunai diantaranya adalah mudharabah,
musyarakah, bay’al-istisna’, dan bay’al salam.
Dalam Mudharabah misalnya, nazhir telah berhasil memobilisir dana wakaf
tunai dan waqif kemudian pengelolanya diserakan kepada bank syariah dengan akad
bagi hasil untuk membiayai pembangunan project infrastruktur seperti rumah sakit, atau instrunsuk lainnya.
Dari hasil penyaluran dana ini, bank mendapatkan profit kemudian berbagi
keuntungan dengan nazhir sebagai shahibul maal (orang yang mempunyai aset) sesuai nisbah yang
telah disepakati. Dari return yang diperoleh, kemudian nazhir digunakan untuk
membangun saranaa sosial yang dapat digunakan oleh orang banyak atau
diinvestasikan kembali untuk menambah modal. (Iska, Nengsih, 2016: 165-168)
Menurut
Muhammad Zarka, secara konsepsional aset wakaf dapat dimanfaatkan untuk proyek
penyediaan layanan seperti sekolah gratis bagi dhuafa, dan proyek wakaf
produktif yang dapat menghasilkan pendapatan, seperti menyewakan bangunan pusat
pembelanjaan.
Apabila
menganalisis konsep dari Monzer Kahf, wakaf memiliki makna upaya pengembangan
aset yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif
melalui investasi saat ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehinggan pengelolaan
wakaf memiliki pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekrang untuk tujuan
menyediakan penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang,
karena tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai
prasarana meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani. (Huda, Heyka,
2010: 330)
Sistem manajemen
pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan
paradigma baru wakaf di Indonesia. Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini
lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda wakaf, maka dalam
pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan
yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Untuk
meningkatkan dan mengembangkan aspek kemanfaatannya, tentu yang sangat berperan
sentral adalah sistem manajemen pengelolaan yang diterapkan harus ditampilkan
lebih profesional dan modern yang bisa dilihat pada aspek-aspek pengelolaan:
1.
Kelembagaan
2.
Pengelolaan
operasioanal
3.
Kehumasan (pemasaran)
4.
Sistem keuangan.
(Mannan: 49)
Apabila menganalisis konsep dari
Monzer Kahf, wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset yang melibatkan
proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui investasi saat
ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehingga pengelolaan wakaf memiliki
pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekarang untuk tujuan menyediakan
penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang, karena
tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana
meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani.
Menurut Monzer Kahf, ada beberapa
model pembiayaan yang dapat dilaksanakan institusi zakat, yaitu :
1.
Pembiayaan Mudharabah
Penerapan Pembiayaan Mudharabah
telah memosisiskan nadzir sebagai debitur kepada lembaga perbankan untuk
harga peralatan dan material yang dibeli, ditambah mark-up
pembiayaannya. Utang ini akan dibayar dari pendapatan hasil pengembangan harta
wakaf.
2.
Pembiayaan Istisna’
Model istisna’ memungkinkan nadzir
memesan pengembangan harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan
melalui suatu kontrak istina’. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian
membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi pesanan pengelola harta wakaf atas nama
lembaga pembiayaan itu. Menurut resolusi Islamic Fiqh Academi dari OKI, istina’
adalah sesuai dengan kontrak syariah di mana pembayaran dapat dilakukan dengan
ditangguhkan atas dasar kesepakatan bersama. Model pembiayaan istina’
juga menimbulkan utang bagi pengelola wakaf dan dapat diselesaikan dari hasil
pengembangan harta wakaf dan penyedia pembiayaan tidak mempunyai hak untuk
turut campur dalam pengelolaan harta wakaf.
3.
Pembiayaan Ijarah
Model pembiayaan ijarah
merupakan penerapan sewa menyewa di mana pengelola harta wakaf tetap memegang
kendali penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya nadzir
memberikan izin penyedia dana mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf
untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Kemudian ia menyewakan gedung
tersebut untuk jangka waktu yang sama di mana pada periode tersebut dimiliki
oleh penyedia dana (financer). Nadzir akan memberikan sewa secara
periodik kepada financer. Jumlah sewa telah diperkirakan akan menutupi
modal pokok dan keuntungan yang telah dikehendaki oleh financer. Pada
akhir periode yang diizinkan, penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya
dan keuntungan yang dikehendaki dan setelah itu penyedia dana tidak dapat
memasuki lagi harta wakaf. Model ini akan berakhir dengan penyewa memiliki
bangunan. Izin yang diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia proyek,
misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek, nadzir menggunakan sebagian
pendapatan jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa kepada penyedia
dana.
4.
Pembiayaan Mudharabah
Model mudharabah dapat
digunakan oleh nadzir dengan asumsi peranannya sebagai entreprenuer dan
menerima dana likuid dari lembaga pembiayaan untuk mendirikan bangunan di atas
tanah wakaf atau mengebor sebuah sumur minyak jika tanah itu menghasilkan
minyak. Manajemen akan tetap berada di tangan nadzir secara eksklusif
dan tingkat bagi hasil ditetapkan sedemikian rupa sehingga menutup biaya usaha.
Gagasan model pembiayaan Islami
Monzer Kahf di atas ditujukan untuk menyisihkan sebagian pendapatan wakaf untuk
merekonstruksi harta wakaf lainnya, yang belum dikelola secara optimal. Dengan
demikian, dana wakaf yang dihimpun dan dikelola oleh lembaga wakaf dapat
dimanfaatkan untuk menghidupkan tanah wakaf atau aset lainnya yang tidak
produktif, benefit-nya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
operasional klinik dan aktivitas sosial lainnya sesuai dengan keinginan wakif.
Di samping itu, nadzir dapat
menggunakan peran perbankan syariah sebagai pengelola dana wakaf. Pengalaman
profesional bank syariah dalam mengelola dana nasabah dapat memudahkan bank
syariah bekerja sama dengan entrepreuer dan bertanggung jawab terhadap
segala kerugian dalam pengelolaan dana. Lembaga wakaf dapat memberikan imbalan
atas jasa bank mengelola dana. Untuk menjamin dana wakaf tidak berkurang
pokoknya, maka bank syariah harus berhubungan dengan lembaga penjamin.
Akad yang terjadi antara pihak
nadzir wakaf dan bank syariah dapat menggunakan sistem mudharabah
muqayyyadah dan deposito bagi hasil. Di sini, posisi lembaga wakaf sebagai shahibul
maal dan pihak bank berperan menjadi mudharrib/pengelola. Lembaga
memberikan batasan mengenai investasi yang akan dilakukan bank, sehingga dana
wakaf dapat dikelola sesuai dengan keinginan wakif. Pembagian bagi hasil
sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal dan tercantum di dalam akad.
Hasil investasi disalurkan melalui rekening nadzir dan dimanfaatkan
untuk keperluan maukuf alaih. Pemanfaan benefit dapat dirasakan
sesuai waktu yang telah disepakati pada akad.
Untuk mengembangkan lembaga wakaf
sebagai sumber pembangunan umat, menurut Monzer Kahf diperlukan beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya sebagai berikut :
1)
Kerangka hukum (legal
framework) yang memberikan perlindungan hukum memadai terhadap hak milik,
pengelola lembaga wakaf dan definisi tentang pengelola lembaga wakaf, fungsi
dan tujuannya secara jelas dan terperinci.
2)
Undang-undang
yang memberikan kemungkinan pengalihan pemilikan semua harta milik wakaf yang
telah dialihkan ke sektor publik atau pribadi dan memeriksa kembali catatan
lama wakaf untuk memilihkan kembali hak wakaf atas tanah-tanah estate-nya
yang hilang.
3)
Merivisi secara
menyeluruh manajemen wakaf, khususnya wakaf yang bersifat investasi, agar dapat
memenuhi peningkatan efisiensi dan produktivitas harta milik wakaf dan
meminimalkan praktik salah urus dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh nadzir.
Diperlukan pula model baru pengelolaan wakaf yang sesuai dengan kelembagaan
wakaf dan menyediakan mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap pengelola
wakaf (Huda, Heyka, 2010: 330-333).
Tujuan dari penggalangan wakaf dari masyarakat antara lain sebagai
berikut :
1.
Menggalang
tabungan sosial dan mentransformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial
serta membantu mengembangkan pasar modal sosial.
2.
Meningkatkan
investasi sosial.
3.
Menyisihkan
sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya/berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak generasi
berikutnya.
4.
Menciptakan
kesadaran di antara orang-orang kaya/berkecukupan mengali tanggung jawab sosial
mereka terhadap masyarakat sekitarnya.
5.
Menciptakan
integrasi antara keamanan sosial dan kedamaian sosial serta meningkatkan
kesejahteraan (Sudarsono, 2004: 263-264).
B.
Perkembangan
Institusi Wakaf di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan
akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai
inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak atas
Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. (Soemitra, 2010: 436)
Peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah RI tersebut, terlihat adanya usaha-usaha untuk menjaga dan
melestarikan tanah wakaf yang ada di Indonesia, bahkan usaha penertibannya pun
diperlihatkan oleh Pemerintah. Di samping beberapa peraturan yang telah
dikemukakan, Departemen Agama pada tanggal 22 Desember 1953 juga mengeluarkan
petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Seperti adanya jawatan usrusan Agama pada
Surat Edaran Jawatan Urusan Agama tanggal 8 Oktober 1956, No. 3/D/1956 tentang
wakaf yang bukan milik keMasjidan.
Meskipun demikian, peraturan-peraturan yang ada
tersebut kurang memadai sehingga cukup banyak tanah wakaf yang terbengkalai.
Bahkan, ada yang hilang. Oleh karena itu, dalam rangka pembaruan hukum agraria
di negara Indonesia, persoalan tentang perwakafan tanah diberi perhatian khusus
seperti yang tercantum dalam Undang-undang pokok Agraria, yaitu UU No.5 Tahun
1960 Tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, Bab II, Bagian XI, pasal 49.
Dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 disebutkan bahwa
untukmelindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah akan
memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah
Milik. Peraturan Pemerintah ternyata baru dikeluarkan setelah 17 tahun
berlakunya UU Pokok Agraria tersebut.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang
perwakafan tanah milik tersebut, diharapkan tanah wakaf yang ada di Indonesia
lebih tertib tertib dan terjaga. Selama belum adanya Peraturan Pemerintah
tentang perwakafan tanah di Indonesia banyak terjadi permasalahan tanah wakaf
yang muncul dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah tidak
mempedulikan masalah perwakafan. Oleh karena peraturan yang berlaku sebelum
dikeluarkannya peraturan pemerintah tentang perwakafan kurang memadai,
pemerintah pun sulit menertibkan tanah wakaf yang jumlahnya cukup banyak.
Kesulitan sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga
masyarakat dan lembaga yang mengelola tanah wakaf. Mereka menyatakan bahwa
sebelum dikeluarkan PP. No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,
pengurusan dan pengolahan tanah-tanah wakaf kurang teratur dan kurang
terkendalikan. Karena itu, sering terjadi penyalahgunaan wakaf.
Kekuasaan negara yang wajib membantu pelaksanaan
syariat masing-masing agama yang diakui di negara Republik Indonesia ini adalah
yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Indonesia. Hal ini disebabkan syariat yang
berasal dari agama yang dianut warga negara Indonesia adalah kebutuhan hidup
para pemeluknya Di samping itu, pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah kepada Allah yang
termasuk ibadah maliyyah, yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mal)
yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.
Dalam
perjalanannya, sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi yang relevan,
seperti bentuk wakaf uang, wakaf hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dan
lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang
cukup serius dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya. ( http://tabungwakaf.com/sejarah-perkembangan-wakaf-di-indonesia/)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal atau disebut tahbisu
ashli, lalu menjadikan manfaatnya untuk kepentingan umum. Pengelolaan wakaf
dengan mendirikan institusi wakaf yang bernama Bada Wakaf Indonesia (BWI) yang
dikukuhkan dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004. Selain itu, pemerintah juga
mengukuhkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang dikukuhkan oleh
mentri dengan tujuan membuat akta ikrar wakaf.
Dalam institusi wakaf, maka untuk optimalisasi
pengelolaan wakaf dibentuklah nazir wakaf. Nazir wakaf adalah
seseorang yang bertanggung jawab mengawasi perputaran, perkembangan,
pertumbuhan, penjagaan, pengelolaan wakaf dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
dalam institusi wakaf yang perlu dioptimalkan adalah nazirnya. Pengelolaan
wakaf harus mengikuti persyaratan dari waqif, karena para sahaba
mewakafkan dan menentuan persyaratan pada seseorang yang mengelola wakaf.
Menurut UU No. 41 tahun 2004 bab II
pasa 28 menyebutkan bahwa waqif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang
melalui Lembaga Keuangan Syariah. Menurut pakar hukum Syariah. Menurut pakar
hukum Syariah, funding structures ataupun financing vehick yang
dapat digunakan untuk mengelola asset wakaf tunai diantaranya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Iska, Syukri dan Nengsih, Ifelda.
2016. Manajemen Lembaga Keuangan Syariah Non Bank: Teori, Praktek dan
Regulasi. Padang: CV. Jasa Surya.
http://tabungwakaf.com/sejarah-perkembangan-wakaf-di-indonesia/
Huda, Nurul dan
Heykal, Mohammad. 2010. Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Kencana.
M.A.Mannan.
Sertifikat Wakaf Tunai. Jakarta: Ciber PKTTI-UI.
Soemitra, Andri. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.
Jakarta: Kencana.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.
Yogyakarta: Ekonisia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar