Sabtu, 27 Oktober 2018

INSTITUSI WAKAF



Hasil gambar untuk logo iain batusangkar

MAKALAH
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARAH NON BANK
Tentang
INSTITUSI WAKAF
Oleh:
ASTRI AYUNDA
1730401022

Dosen Pembimbing:
DR. H. SYUKRI ISKA, M. AG
IFELDA NENGSIH, SEI, MA

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
1439 H/2018 M

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam perjalanannya wakaf terus berkembang dan akan berkembang sesuai laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak atas Kekayaan Intelektual (Haki) dan ain-lain. Di Indonesia, wakaf sudah mendapat perhatian yang serius dengan diterbitkannya Undang-undnag No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No 42 Tahun 2006 tentang Pelaksaannya.Wakaf dalam konteksnya yang sekarang memiliki tiga ciri utama.Pertama, pola managemen wakaf harus terintegrasi.Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Ketiga, asas transparansi dan tanggung jawab.
Wakaf mempunyai peran penting dalam pembangunan masyarakat dan bahkan dalam  pembangunan peradaban manusia. Dalam hal ini adanya kesinambungan manfaat pada donasi wakaf, kaum muslimin, disepanjang sejarah Islam menemukan bahwa bentuk khusus dari sumbangan karikatif ini merupakan cara terbaik untuk menjelaskan keterikatan mereka dengan ajaran Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana mekanisme operasional institusi wakaf ?
2.      Bagaimanaperkembangan institusi wakaf di Indonesia ?

C.       Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui mekanisme operasional institusi wakaf
2.      Untuk mengetahui perkembangan institusi wakaf di Indonesia








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mekanisme Operasional Institusi Wakaf
Menurut bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab Waqafa yang berarti menahan atau berhenti di tempat. Wakaf bermakna “pembatasan” atau “larangan”. Sehingga wakaf digunakan dalam Islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta benda tertentu untuk kemanfaatan sosial yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan.
Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal atau disebut tahbisu ashli, lalu menjadikan manfaatnya untuk kepentingan umum. Tahbisul Ashli sendiri mempunyai arti menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (waqif) tanpa imbalan. dijelaskan dalam al-Qur’an yang mengarah kepada wakaf adalah surat al-Baqarah ayat 261
Potensi wakaf di Indonesia begitu besar, hal ini terlihat dari besarnya jumlah tanah wakaf di Indonesia yang mencapai 300 ribu hektar tanah. Oleh karena itu, negara telah mengkoordinir pengelolaan wakaf dengan mendirikan institusi wakaf yang bernama Bada Wakaf Indonesia (BWI) yang dikukuhkan dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004. Selain itu, pemerintah juga mengukuhkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang dikukuhkan oleh mentri dengan tujuan membuat akta ikrar wakaf. (Iska, Nengsih, 2016: 157-158)
1.      Mekanisme Operasional Institusi Zakat
Pelaksanaan wakaf dapat dilaksanakan apabila memenuhi unsur wakaf, yaitu:
a.       Wakif (orang yang berwakaf)
b.      Nazhir (pengelola zakat)
c.       Harta benda wakaf
d.      Ikrar wakaf
e.       Peruntukan harta benda wakaf
f.       Ikrar wakaf
Berkaitan dengan harta, maka UU No. 41 tahun 2004 menyebutkan bahwa harta benda yang bisa diwakafkan adalah:
a.       Benda Tidak Bergerak
Adapun yang dimaksudkan benda tidak bergerak meliputi:
1)      Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
2)      Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri dari atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1)
3)      Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
4)      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5)      Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syriah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.      Benda Bergerak
1)      Uang
2)      Logam mulia
3)      Surat berharga
4)      Kendaraan
5)      Hak atas kekayaan intelektual
6)      Hak sewa; dan
7)      Benda bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dalam institusi wakaf, maka untuk optimalisasi pengelolaan wakaf dibentuklah nazir wakaf. Nazir wakaf adalah seseorang yang bertanggung jawab mengawasi perputaran, perkembangan, pertumbuhan, penjagaan, pengelolaan wakaf dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam institusi wakaf yang perlu dioptimalkan adalah nazirnya. Adakalanya oleh penerima wakaf jika wakif mensyaratkan agar dia mengelola wakaf. Adakalanya juga selain mereka, yaitu pihak lain yang tidak ada kitannya dengan dengan wakaf jika memang dia mendapat kewenangan mengelola wakaf. Pengelolaan wakaf harus mengikuti persyaratan dari waqif, karena para sahaba mewakafkan dan menentuan persyaratan pada seseorang yang mengelola wakaf. (Iska, Nengsih, 2016: 164-165)
Pengelola wakaf menurut Perundang-undangan Indonesia sebagai berikut:
a.       Syarat-syarat Nazhir
Nazhir adalah pengelola harta wakaf. Dalam Undang-undang RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, nazhir merupakan unsur wakaf yang harus dipenuhi bahkan dalam perspektif fiqih, nazhir dapat pula perorangan secara sendiri asalkan ditunjuk oleh waqif/atau waqif dapat menunjukkan dirinya sendiri sebagai nadzir perseorangan, organisasi atau badan hukum dengan memenuhi syarat-syarat:
1)      Nazhir Perseoragan
a)      Warga Negara Indonesia
b)      Beragama Islam
c)      Dewasa
d)     Amanah
e)      Mampu secara jasmani dan rohani;
f)       Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
2)      Nazhir Organisasi
a)      Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada syarat perseoangan di atas
b)      Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam
3)      Nazhir Badan Hukum
a)      Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada syarat perseorangan diatas
b)      Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
c)      Badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam
b.      Pengangkatan  dan Pemberhentian Nazhir
Pengankatan dan pemberhentian nazhir, secara tersurat boleh dikatakan tidak ada suatu ketentuan yang jelas baik oleh peraturan perundangan terdahulu seperti PP, KHI maupun dalam UU No. 41 tahun 2004. Dengan hadirnya UU No. 41 tahun 2004 yaitu pengakuan adanya nazhir perseorangan, organisasi, dan badan hukum serta memperoleh pembinaan dari Menteri. Disamping itu, UU No. 41 tahun 2004 juga mengakomodir Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang menetapkan kebijakan tentang harta benda wakaf dan pengelolaannya serta memberikan bimbingan kepada para pengelolanya serta bertindak selaku nazhir wakaf berskala nasional.
Dalam pelaksanaan tugasnya, BWI dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional dan pihak lain yang dipandang perlu atau BWI dapat membentuk perwakilan di provinsi daan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 67 UU No. 41 tahun 2004.
c.       Hak dan Kewajiban Nazhir
Kewajiban nazhir yang diatur dalam UU No. 41 tahun 2004, yaitu:
1)      Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
2)      Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya
3)      Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
4)      Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia
Sedangkan hak nazhir adalah menyangkut penghargaan atas jasa atau jeri payah dari nazhir yang telah mengelola harta wakaf baik berupa honor atau gaji maupun fasilitas wakaf yang telah dikelola. Nazhir diberikan hak untuk memperoleh penghasilan yang layak sebagai imbalan atas jerih payahnya mengelola wakaf. Hak nazhir dirumuskan pasal 12 UU No. 41 tahun 2004, yaitu nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda yang besarnya tidak boleh melebihi 10%.
d.      Lembaga Keuntungan Syariah (LKS) sebagai Pengelola Wakaf
Menurut UU No. 41 tahun 2004 bab II pasa 28 menyebutkan bahwa waqif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah. Menurut pakar hukum Syariah. Menurut pakar hukum Syariah, funding structures ataupun financing vehick yang dapat digunakan untuk mengelola asset wakaf tunai diantaranya adalah mudharabah, musyarakah, bay’al-istisna’, dan bay’al salam. Dalam Mudharabah misalnya, nazhir telah berhasil memobilisir dana wakaf tunai dan waqif kemudian pengelolanya diserakan kepada bank syariah dengan akad bagi hasil untuk membiayai pembangunan project infrastruktur  seperti rumah sakit, atau instrunsuk lainnya. Dari hasil penyaluran dana ini, bank mendapatkan profit kemudian berbagi keuntungan dengan nazhir sebagai shahibul maal  (orang yang mempunyai aset) sesuai nisbah yang telah disepakati. Dari return yang diperoleh, kemudian nazhir digunakan untuk membangun saranaa sosial yang dapat digunakan oleh orang banyak atau diinvestasikan kembali untuk menambah modal. (Iska, Nengsih, 2016: 165-168)
Menurut Muhammad Zarka, secara konsepsional aset wakaf dapat dimanfaatkan untuk proyek penyediaan layanan seperti sekolah gratis bagi dhuafa, dan proyek wakaf produktif yang dapat menghasilkan pendapatan, seperti menyewakan bangunan pusat pembelanjaan.
Apabila menganalisis konsep dari Monzer Kahf, wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui investasi saat ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehinggan pengelolaan wakaf memiliki pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekrang untuk tujuan menyediakan penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang, karena tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani. (Huda, Heyka, 2010: 330)
Sistem manajemen pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf di Indonesia. Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda wakaf, maka dalam pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Untuk meningkatkan dan mengembangkan aspek kemanfaatannya, tentu yang sangat berperan sentral adalah sistem manajemen pengelolaan yang diterapkan harus ditampilkan lebih profesional dan modern yang bisa dilihat pada aspek-aspek pengelolaan:
1.      Kelembagaan
2.      Pengelolaan operasioanal
3.      Kehumasan (pemasaran)
4.      Sistem keuangan. (Mannan: 49)
Apabila menganalisis konsep dari Monzer Kahf, wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui investasi saat ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehingga pengelolaan wakaf memiliki pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekarang untuk tujuan menyediakan penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang, karena tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani.
Menurut Monzer Kahf, ada beberapa model pembiayaan yang dapat dilaksanakan institusi zakat, yaitu :
1.      Pembiayaan Mudharabah
Penerapan Pembiayaan Mudharabah telah memosisiskan nadzir sebagai debitur kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan dan material yang dibeli, ditambah mark-up pembiayaannya. Utang ini akan dibayar dari pendapatan hasil pengembangan harta wakaf. 
2.      Pembiayaan Istisna’
Model istisna’ memungkinkan nadzir memesan pengembangan harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu kontrak istina’. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi  pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga pembiayaan itu. Menurut resolusi Islamic Fiqh Academi dari OKI, istina’ adalah sesuai dengan kontrak syariah di mana pembayaran dapat dilakukan dengan ditangguhkan atas dasar kesepakatan bersama. Model pembiayaan istina’ juga menimbulkan utang bagi pengelola wakaf dan dapat diselesaikan dari hasil pengembangan harta wakaf dan penyedia pembiayaan tidak mempunyai hak untuk turut campur dalam pengelolaan harta wakaf.
3.      Pembiayaan Ijarah
Model pembiayaan ijarah merupakan penerapan sewa menyewa di mana pengelola harta wakaf tetap memegang kendali penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya nadzir memberikan izin penyedia dana mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Kemudian ia menyewakan gedung tersebut untuk jangka waktu yang sama di mana pada periode tersebut dimiliki oleh penyedia dana (financer). Nadzir akan memberikan sewa secara periodik kepada financer. Jumlah sewa telah diperkirakan akan menutupi modal pokok dan keuntungan yang telah dikehendaki oleh financer. Pada akhir periode yang diizinkan, penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang dikehendaki dan setelah itu penyedia dana tidak dapat memasuki lagi harta wakaf. Model ini akan berakhir dengan penyewa memiliki bangunan. Izin yang diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia proyek, misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek, nadzir menggunakan sebagian pendapatan jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa kepada penyedia dana.
4.      Pembiayaan Mudharabah
Model mudharabah dapat digunakan oleh nadzir dengan asumsi peranannya sebagai entreprenuer dan menerima dana likuid dari lembaga pembiayaan untuk mendirikan bangunan di atas tanah wakaf atau mengebor sebuah sumur minyak jika tanah itu menghasilkan minyak. Manajemen akan tetap berada di tangan nadzir secara eksklusif dan tingkat bagi hasil ditetapkan sedemikian rupa sehingga menutup biaya usaha.
Gagasan model pembiayaan Islami Monzer Kahf di atas ditujukan untuk menyisihkan sebagian pendapatan wakaf untuk merekonstruksi harta wakaf lainnya, yang belum dikelola secara optimal. Dengan demikian, dana wakaf yang dihimpun dan dikelola oleh lembaga wakaf dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan tanah wakaf atau aset lainnya yang tidak produktif, benefit-nya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional klinik dan aktivitas sosial lainnya sesuai dengan keinginan wakif.
Di samping itu, nadzir dapat menggunakan peran perbankan syariah sebagai pengelola dana wakaf. Pengalaman profesional bank syariah dalam mengelola dana nasabah dapat memudahkan bank syariah bekerja sama dengan entrepreuer dan bertanggung jawab terhadap segala kerugian dalam pengelolaan dana. Lembaga wakaf dapat memberikan imbalan atas jasa bank mengelola dana. Untuk menjamin dana wakaf tidak berkurang pokoknya, maka bank syariah harus berhubungan dengan lembaga penjamin.
Akad yang terjadi antara pihak nadzir wakaf dan bank syariah dapat menggunakan sistem mudharabah muqayyyadah dan deposito bagi hasil. Di sini, posisi lembaga wakaf sebagai shahibul maal dan pihak bank berperan menjadi mudharrib/pengelola. Lembaga memberikan batasan mengenai investasi yang akan dilakukan bank, sehingga dana wakaf dapat dikelola sesuai dengan keinginan wakif. Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal dan tercantum di dalam akad. Hasil investasi disalurkan melalui rekening nadzir dan dimanfaatkan untuk keperluan maukuf alaih. Pemanfaan benefit dapat dirasakan sesuai waktu yang telah disepakati pada akad.
Untuk mengembangkan lembaga wakaf sebagai sumber pembangunan umat, menurut Monzer Kahf diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya sebagai berikut :
1)        Kerangka hukum (legal framework) yang memberikan perlindungan hukum memadai terhadap hak milik, pengelola lembaga wakaf dan definisi tentang pengelola lembaga wakaf, fungsi dan tujuannya secara jelas dan terperinci.
2)        Undang-undang yang memberikan kemungkinan pengalihan pemilikan semua harta milik wakaf yang telah dialihkan ke sektor publik atau pribadi dan memeriksa kembali catatan lama wakaf untuk memilihkan kembali hak wakaf atas tanah-tanah estate-nya yang hilang.
3)        Merivisi secara menyeluruh manajemen wakaf, khususnya wakaf yang bersifat investasi, agar dapat memenuhi peningkatan efisiensi dan produktivitas harta milik wakaf dan meminimalkan praktik salah urus dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh nadzir. Diperlukan pula model baru pengelolaan wakaf yang sesuai dengan kelembagaan wakaf dan menyediakan mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap pengelola wakaf (Huda, Heyka, 2010: 330-333).
Tujuan dari penggalangan wakaf dari masyarakat antara lain sebagai berikut :
1.      Menggalang tabungan sosial dan mentransformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial.
2.      Meningkatkan investasi sosial.
3.      Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya/berkecukupan  kepada fakir miskin dan anak-anak generasi berikutnya.
4.      Menciptakan kesadaran di antara orang-orang kaya/berkecukupan mengali tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya.
5.      Menciptakan integrasi antara keamanan sosial dan kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan (Sudarsono, 2004: 263-264).
B.     Perkembangan Institusi Wakaf di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak atas Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. (Soemitra, 2010: 436)
Peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah RI tersebut, terlihat adanya usaha-usaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf yang ada di Indonesia, bahkan usaha penertibannya pun diperlihatkan oleh Pemerintah. Di samping beberapa peraturan yang telah dikemukakan, Departemen Agama pada tanggal 22 Desember 1953 juga mengeluarkan petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Seperti adanya jawatan usrusan Agama pada Surat Edaran Jawatan Urusan Agama tanggal 8 Oktober 1956, No. 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik keMasjidan.
Meskipun demikian, peraturan-peraturan yang ada tersebut kurang memadai sehingga cukup banyak tanah wakaf yang terbengkalai. Bahkan, ada yang hilang. Oleh karena itu, dalam rangka pembaruan hukum agraria di negara Indonesia, persoalan tentang perwakafan tanah diberi perhatian khusus seperti yang tercantum dalam Undang-undang pokok Agraria, yaitu UU No.5 Tahun 1960 Tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, Bab II, Bagian XI, pasal 49. Dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 disebutkan bahwa untukmelindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah ternyata baru dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria tersebut.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah milik tersebut, diharapkan tanah wakaf yang ada di Indonesia lebih tertib tertib dan terjaga. Selama belum adanya Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah di Indonesia banyak terjadi permasalahan tanah wakaf yang muncul dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah tidak mempedulikan masalah perwakafan. Oleh karena peraturan yang berlaku sebelum dikeluarkannya peraturan pemerintah tentang perwakafan kurang memadai, pemerintah pun sulit menertibkan tanah wakaf yang jumlahnya cukup banyak. Kesulitan sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat dan lembaga yang mengelola tanah wakaf. Mereka menyatakan bahwa sebelum dikeluarkan PP. No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, pengurusan dan pengolahan tanah-tanah wakaf kurang teratur dan kurang terkendalikan. Karena itu, sering terjadi penyalahgunaan wakaf.
Kekuasaan negara yang wajib membantu pelaksanaan syariat masing-masing agama yang diakui di negara Republik Indonesia ini adalah yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Indonesia. Hal ini disebabkan syariat yang berasal dari agama yang dianut warga negara Indonesia adalah kebutuhan hidup para pemeluknya Di samping itu, pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah kepada Allah yang termasuk ibadah maliyyah, yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mal) yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.
 Dalam perjalanannya, sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya. ( http://tabungwakaf.com/sejarah-perkembangan-wakaf-di-indonesia/)




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal atau disebut tahbisu ashli, lalu menjadikan manfaatnya untuk kepentingan umum. Pengelolaan wakaf dengan mendirikan institusi wakaf yang bernama Bada Wakaf Indonesia (BWI) yang dikukuhkan dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004. Selain itu, pemerintah juga mengukuhkan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang dikukuhkan oleh mentri dengan tujuan membuat akta ikrar wakaf.
Dalam institusi wakaf, maka untuk optimalisasi pengelolaan wakaf dibentuklah nazir wakaf. Nazir wakaf adalah seseorang yang bertanggung jawab mengawasi perputaran, perkembangan, pertumbuhan, penjagaan, pengelolaan wakaf dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam institusi wakaf yang perlu dioptimalkan adalah nazirnya. Pengelolaan wakaf harus mengikuti persyaratan dari waqif, karena para sahaba mewakafkan dan menentuan persyaratan pada seseorang yang mengelola wakaf.
Menurut UU No. 41 tahun 2004 bab II pasa 28 menyebutkan bahwa waqif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah. Menurut pakar hukum Syariah. Menurut pakar hukum Syariah, funding structures ataupun financing vehick yang dapat digunakan untuk mengelola asset wakaf tunai diantaranya.








DAFTAR KEPUSTAKAAN
Iska, Syukri dan Nengsih, Ifelda. 2016. Manajemen Lembaga Keuangan Syariah Non Bank: Teori, Praktek dan Regulasi. Padang: CV. Jasa Surya.
http://tabungwakaf.com/sejarah-perkembangan-wakaf-di-indonesia/ 
Huda, Nurul dan Heykal, Mohammad. 2010. Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana.
M.A.Mannan. Sertifikat Wakaf Tunai. Jakarta: Ciber PKTTI-UI.
Soemitra, Andri. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar