Jumat, 23 November 2018

OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)



Hasil gambar untuk logo iain batusangkar
MAKALAH
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARAH NON BANK
Tentang
OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)
Oleh:
ASTRI AYUNDA
1730401022

Dosen Pembimbing:
DR. H. SYUKRI ISKA, M. AG
IFELDA NENGSIH, SEI, MA


JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
1440 H/2018 M




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Krisis moneter dan fiskallah yang memunculkan gagasan agar BI cukup berkonsentrasi pada pengelolaan moneter dan Departemen Keuangan cukup mengurusi masalah fiskal. Rencana pemindahan fungsi pengawasan bank dari BI tersebut telah dikukuhkan oleh pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 1999 yang diantaranya dalam Pasal 34 menyetujui pembentukan Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan yang independen (OJK).
Keputusan pemerintah tampaknya dilatarbelakangi pada pelaksanaan Sistem Pengawasan Bank di Jerman yang terpisah dari Bank Sentralnya (Deutshe Bundesbank). Lembaga independen kemudian disebut dengan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan yang akan melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya.
Untuk itu, Lembaga Keuangan memiliki pengaruh yang besar bagi perekonomian Indonesia. Terutama dalam bidang perbankan guna menyeimbangkan perekonomian Indonesia terdapat beberapa lembaga yang mengawasi lembaga keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian OJK dan LPS?
2.      Bagaimana tugas dan wewenang OJK?
3.      Bagaimana mekanisme kerja OJK dan LPS?
C.    Tujuan Pembelajaran
1.      Untuk mengetahui pengertian OJK dan LPS
2.      Untuk mengetahui tugas dan wewenang OJK
3.      Untuk mengetahui mekanisme kerja OJK dan LPS





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian OJK dan LPS
1.      Pengertian OJK
Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pasal 2 Ayat 2, status OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan  wewenangnya, bebas dari campur  tangan  pihak  lain,  kecuali  untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di dalam pasal 3 disebutkan bahwa OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan OJK  dapat  mempunyai  kantor  di  dalam  dan  di  luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Dari ketentuan Pasal diatas, dapat diketahui bahwa kedudukan OJK adalah independen, tidak dapat dipengaruhi oleh pihak lain dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Alasan diperlukannya indepedensi adalah sebagai berikut :
a.       OJK dengan sendirinya memiliki fungsi regulator. Karena itu, OJK berdasarkan undang-undang yang mendasarinya ditetapkan sebagai lembaga pemerintah.
b.      Untuk menunjang pencapaian tujuan dan tugas-tugasnya. Karena itu, OJK harus bebas dari segala campur tangan pihak mana pun, kecuali hal-hal tertentu yang aturan dan mekanismenya diatur secara tegas dalam RUU OJK.
c.       Agar indepedensi tidak berlebihan, pemeliharaan moral integritas dan profesionalisme harus dibangun melalui mekanisme yang transparan dan tegas diukur berdasarkan krriteria yang jelas.
d.      Agar integritas dan profesionalisme setiap pelaku OJK terpelihara, indepedensi sumber daya untuk mendukung operasionalisasi OJK harus terjamin.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 4) :

a.       Terselenggara secara teratur, adil,  transparan, dan akuntabel.
b.      Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
c.       Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Sedangkan objek Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan adalah sebagai berikut:
a.       Bank
b.      Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha peransuransian
c.       Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pasar modal dan perdagangan berjangka
d.      Dana pensiun
e.       Perusahaan pembiayaan
f.       Modal ventura
g.      Badan penyelenggara program jaminan sosial tenaga kerja
h.      Badan penyelenggara program pensiun atau program jaminan/santunan lain untuk PNS dan anggota TNI/POLRI
i.        Lembaga keuangan lain dan badan-badan lain yang mengelola dana masyarakat. (Dewi, 2006: 121-124)

2.      Pengertian LPS
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya.
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sekaligus menghambat melemahnya nilai tukar rupiah, pemerintah memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 Pasal 54 Ayat 2 dan 3 :
a.       Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 belum cukup mengatasi kesulitan yang dialami bank syariah. BI menyatakan bank syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke LPS untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan.
b.      Jika LPS menyatakan bank syariah tidak dapat diselamatkan, BI atas permintaan LPS mencabut izin usaha bank syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan LPS sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
                                                   
Sesuai dengan Pasal 4 UU No 24 Tahun 2004, LPS menjalankan fungsi untuk menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam stabilitas sistem perbankan. Berdasarkan Pasal 96, pelaksanaan fungsi LPS juga dilaksanakan bagi bank berdasarkan prinsip syariah, ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No. 39 Tahun 2005. LPS harus menjamin simpanan nasabah bank berdasarkan prinsip syariah, baik bank umum dan BPR yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maupun UUS dari Bank Konvensional. (Sutedi, 2009: 154-155)
Lembaga penjamin simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan UU Republik Indonesia No. 24 tentang Lembaga Pinjaman Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. UU ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005. Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah RI wajib menjadi peserta penjaminan LPS. (Sudarsono, 2006: 14)

B.     Tugas dan Wewenang OJK
1.      Tugas OJK
Dalam undang-undang nomor 21 tahun 2011 tentang OJK, dijelaskan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Pengasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

2.      Wewenang OJK
Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
a.       Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi:
1)      Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan, dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2)      Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa
b.      Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank, laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi debitur, pengujian kredit, dan standar akuntans bank
c.       Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajeman resiko, tata kelola bank, prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang, dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan dan pemeriksaan bank
d.      Terkat Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank)
1)      Menetapkan peraturan dan keputusan OJK
2)      Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan,
3)      Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
4)      Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu
5)      Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan
6)      Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban, dan
7)      Menetapkan peraturan mengenai tata car pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
e.       Terkait Pengawasan, Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi:
1)      Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatann jasa keuangan
2)      Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif
3)      Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyelidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan,
4)      Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu
5)      Melakukan penunjukkan pengelolaan statuter
6)      Menetapkan penggunaan pengelolaan statuter
7)      Menetapkan sanksi administrasi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektr jasa keuangan; dan
8)      Memberikan dan/atau mencabut izin usaha, izin orang perorangan, efektifnya pernytaan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegatan usaha, pengesahan persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK memiliki motto 3 M, yaitu: Mengatur, Mengawasi, dan Melindungi. Bentuk pengaturan adalah berkaitan dengan perizinan lembaga keuangan, bentuk pengawasan adalah mengawasi jalannya transaksi keuangan dalam lembaga keuangan, dan untuk bentuk melindungi, OJK melayani berbagai pengaduan seputar permasalahan lembaga keuangan, baik pengaduan dari nasabah ataupun pengaduan dari pengelola lembaga keuangan. (Iska, Nengsih, 2016: 192-194)
C.    Mekanisme Kerja OJK dan LPS
1.      Mekanisme Kerja OJK
OJK harus senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
a.       Memberikan informasi keuangan kepada BI dan LPS sesuai tugas dan wewenang masing-masing, agar penyelenggaraan fungsinya berjalan aktif dan baik. Informasi harus lengkap dan uptodate yang diperoleh melalui akses langsung ke pusat informasi yang dipelihara OJK.
b.      OJK wajib bertukar informasi dengan BI dalam menyelenggarakan financial stability analisys.
c.       OJK selaku otoritas pengatur tingkat kesehatan bank wajib memelihara kerja sama yang baik dengan BI.
d.      Secara berkala, OJK menyampaikan laporan ke Menteri Keuangan tentang efisiensi dan kesehatan dari individual bank.
Untuk mengantisipasi terjadinya suatu gangguan serius terhadap perekonomian nasional yang diakibatkan oleh bank tertentu, disusun suatu mekanisme yang menciptakan kerjasama antara OJK, BI, LPS dan Departemen Keuangan. (Dewi, 2006: 133)

2.      Mekanisme Kerja LPS
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004, penjamin simpanan nasabah meliputi penjaminan bentuk yang setara dengan simpanan bagi bank yang menggunakan prinsip syariah. LPS berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama dengan Menteri keuangan, BI dan Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
Sejak tanggal 22 Maret 2006, penjaminan oleh LPS meliputi simpanan paling banyak Rp 5 M per nasabah per bank. Nilai simpanan yang dijamin tersebut akan dikurangi secara bertahap menjadi paling banyak Rp 1 M sejak 22 September 2006 dan paling banyak Rp 100 juta sejak 22 Maret 2007.
Nilai simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil, saldo tersebut meliputi pokok yang ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal pencabutan izin usaha BUS, BPRS atau BUK yang menjadi induk UUS.
Pada dasarnya, LPS bukanlah asuransi. Program penjaminan yang dilaksanakan LPS dikenal deposit insurance, pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1933 sewaktu mendirikan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Deposit Insurance atau jaminan simpanan adalah jaminan yang diberikan kepada nasabah penyimpan pada bank oleh penyelenggara penjaminan.
Saat ini, sistem yang digunakan LPS adalah flat rate. Sistem ini mengandung kelemahan karena dipercaya menimbulkan insentif bagi bank untuk meningkatkan risiko dalam portofolio mereka. Apabila LPS telah menggunakan risk base premium, maka permintaan perbankan syariah dapat dipenuhi dalam artian bank syariah yang sehat membayar premi lebih rendah dibandingkan bank syariah yang tidak sehat (Sutedi, 2009: 159-161)






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pasal 2 Ayat 2, status OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan  wewenangnya, bebas dari campur  tangan  pihak  lain,  kecuali  untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di dalam pasal 3 disebutkan bahwa OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan OJK  dapat  mempunyai  kantor  di  dalam  dan  di  luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK memiliki motto 3 M, yaitu: Mengatur, Mengawasi, dan Melindungi. Bentuk pengaturan adalah berkaitan dengan perizinan lembaga keuangan, bentuk pengawasan adalah mengawasi jalannya transaksi keuangan dalam lembaga keuangan, dan untuk bentuk melindungi, OJK melayani berbagai pengaduan seputar permasalahan lembaga keuangan, baik pengaduan dari nasabah ataupun pengaduan dari pengelola lembaga keuangan.
Mekanisme kerja OJK harus senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
e.       Memberikan informasi keuangan kepada BI dan LPS sesuai tugas dan wewenang masing-masing, agar penyelenggaraan fungsinya berjalan aktif dan baik. Informasi harus lengkap dan uptodate yang diperoleh melalui akses langsung ke pusat informasi yang dipelihara OJK.
f.       OJK wajib bertukar informasi dengan BI dalam menyelenggarakan financial stability analisys.
g.      OJK selaku otoritas pengatur tingkat kesehatan bank wajib memelihara kerja sama yang baik dengan BI.
h.      Secara berkala, OJK menyampaikan laporan ke Menteri Keuangan tentang efisiensi dan kesehatan dari individual bank.
Mekanisme kerja LPS, berdasarkan Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004, penjamin simpanan nasabah meliputi penjaminan bentuk yang setara dengan simpanan bagi bank yang menggunakan prinsip syariah. LPS berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama dengan Menteri keuangan, BI dan Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.






DAFTAR KEPUSTAKAAN

Dewi, Gemala. 2006. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian    Syariah di Indonesia. (Jakarta : Kencana)
Iska, Syukri danNengsih, Ifelda.2016. Manajemen Lembaga Keuangan Syariah Non Bank. Padang: CV. Jasa Surya.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi. (Yogyakarta : Kampus Fakultas Ekonomi UII)
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia)

1 komentar: