
MAKALAH
MANAJEMEN
LEMBAGA KEUANGAN SYARAH NON BANK
Tentang
OTORITAS
JASA KEUANGAN (OJK) DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)
Oleh:
ASTRI
AYUNDA
1730401022
Dosen
Pembimbing:
DR.
H. SYUKRI ISKA, M. AG
IFELDA
NENGSIH, SEI, MA
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
1440
H/2018 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Krisis
moneter dan fiskallah yang memunculkan gagasan agar BI cukup berkonsentrasi
pada pengelolaan moneter dan Departemen Keuangan cukup mengurusi masalah
fiskal. Rencana pemindahan fungsi pengawasan bank dari BI tersebut telah
dikukuhkan oleh pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 1999
yang diantaranya dalam Pasal 34 menyetujui pembentukan Lembaga Pengawasan
Sektor Jasa Keuangan yang independen (OJK).
Keputusan
pemerintah tampaknya dilatarbelakangi pada pelaksanaan Sistem Pengawasan Bank
di Jerman yang terpisah dari Bank Sentralnya (Deutshe Bundesbank).
Lembaga independen kemudian disebut dengan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan yang
akan melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa
keuangan lainnya.
Untuk itu, Lembaga Keuangan memiliki pengaruh yang
besar bagi perekonomian Indonesia. Terutama dalam bidang perbankan guna
menyeimbangkan perekonomian Indonesia terdapat beberapa lembaga yang mengawasi
lembaga keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), dan Bank Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
OJK dan LPS?
2.
Bagaimana tugas
dan wewenang OJK?
3.
Bagaimana
mekanisme kerja OJK dan LPS?
C.
Tujuan
Pembelajaran
1.
Untuk
mengetahui pengertian OJK dan LPS
2.
Untuk
mengetahui tugas dan wewenang OJK
3.
Untuk
mengetahui mekanisme kerja OJK dan LPS
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian OJK
dan LPS
1.
Pengertian OJK
Menurut Undang-undang No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pasal 2 Ayat 2, status OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
pihak lain, kecuali
untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di dalam pasal 3 disebutkan bahwa
OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan OJK dapat mempunyai
kantor
di
dalam dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Dari ketentuan Pasal diatas, dapat
diketahui bahwa kedudukan OJK adalah independen, tidak dapat dipengaruhi oleh
pihak lain dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Alasan diperlukannya
indepedensi adalah sebagai berikut :
a.
OJK dengan
sendirinya memiliki fungsi regulator. Karena itu, OJK berdasarkan undang-undang
yang mendasarinya ditetapkan sebagai lembaga pemerintah.
b.
Untuk menunjang
pencapaian tujuan dan tugas-tugasnya. Karena itu, OJK harus bebas dari segala
campur tangan pihak mana pun, kecuali hal-hal tertentu yang aturan dan
mekanismenya diatur secara tegas dalam RUU OJK.
c.
Agar
indepedensi tidak berlebihan, pemeliharaan moral integritas dan profesionalisme
harus dibangun melalui mekanisme yang transparan dan tegas diukur berdasarkan
krriteria yang jelas.
d.
Agar integritas
dan profesionalisme setiap pelaku OJK terpelihara, indepedensi sumber daya untuk
mendukung operasionalisasi OJK harus terjamin.
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan (Pasal 4) :
a.
Terselenggara
secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel.
b.
Mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
c.
Mampu
melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Sedangkan
objek Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan adalah sebagai berikut:
a. Bank
b. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di
bidang usaha peransuransian
c. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di
bidang pasar modal dan perdagangan berjangka
d. Dana pensiun
e. Perusahaan pembiayaan
f. Modal ventura
g. Badan penyelenggara program jaminan
sosial tenaga kerja
h. Badan penyelenggara program pensiun atau
program jaminan/santunan lain untuk PNS dan anggota TNI/POLRI
i.
Lembaga keuangan lain dan badan-badan lain yang mengelola dana
masyarakat. (Dewi, 2006: 121-124)
2.
Pengertian LPS
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas
simpanan nasabah penyimpan,
melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya.
Untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sekaligus
menghambat melemahnya nilai tukar rupiah, pemerintah memberikan jaminan atas
seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat sebagaimana
diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 Pasal 54 Ayat 2 dan 3 :
a. Apabila tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 belum cukup mengatasi kesulitan yang dialami bank syariah. BI
menyatakan bank syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke
LPS untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan.
b. Jika LPS menyatakan bank syariah tidak
dapat diselamatkan, BI atas permintaan LPS mencabut izin usaha bank syariah dan
penanganan lebih lanjut dilakukan LPS sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sesuai
dengan Pasal 4 UU No 24 Tahun 2004, LPS menjalankan fungsi untuk menjamin
simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam stabilitas sistem perbankan.
Berdasarkan Pasal 96, pelaksanaan fungsi LPS juga dilaksanakan bagi bank
berdasarkan prinsip syariah, ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No. 39
Tahun 2005. LPS harus menjamin simpanan nasabah bank berdasarkan prinsip
syariah, baik bank umum dan BPR yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah maupun UUS dari Bank Konvensional. (Sutedi, 2009: 154-155)
Lembaga
penjamin simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin
simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan UU
Republik Indonesia No. 24 tentang Lembaga Pinjaman Simpanan yang ditetapkan
pada 22 September 2004. UU ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan
sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005. Setiap
bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah RI wajib menjadi peserta
penjaminan LPS. (Sudarsono, 2006: 14)
B.
Tugas dan
Wewenang OJK
1.
Tugas OJK
Dalam undang-undang nomor 21 tahun
2011 tentang OJK, dijelaskan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
b.
Kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.
Kegiatan jasa
keuangan di sektor Pengasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
2.
Wewenang OJK
Dalam menjalankan tugas pengaturan
dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
a.
Terkait Khusus
Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi:
1)
Perizinan untuk
pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja,
kepemilikan, kepengurusan, dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan
akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2)
Kegiatan usaha
bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas
di bidang jasa
b.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum
pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank,
laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi
debitur, pengujian kredit, dan standar akuntans bank
c.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajeman resiko, tata
kelola bank, prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang, dan pencegahan
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan dan pemeriksaan bank
d.
Terkat
Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank)
1)
Menetapkan
peraturan dan keputusan OJK
2)
Menetapkan peraturan
mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan,
3)
Menetapkan
kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
4)
Menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa
Keuangan dan pihak tertentu
5)
Menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan
6)
Menetapkan
struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban, dan
7)
Menetapkan
peraturan mengenai tata car pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan
e.
Terkait
Pengawasan, Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi:
1)
Menetapkan
kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatann jasa keuangan
2)
Mengawasi
pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif
3)
Melakukan
pengawasan, pemeriksaan, penyelidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain
terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan,
4)
Memberikan
perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu
5)
Melakukan
penunjukkan pengelolaan statuter
6)
Menetapkan
penggunaan pengelolaan statuter
7)
Menetapkan
sanksi administrasi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di sektr jasa keuangan; dan
8)
Memberikan
dan/atau mencabut izin usaha, izin orang perorangan, efektifnya pernytaan
pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegatan usaha, pengesahan
persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK
memiliki motto 3 M, yaitu: Mengatur, Mengawasi, dan Melindungi. Bentuk
pengaturan adalah berkaitan dengan perizinan lembaga keuangan, bentuk
pengawasan adalah mengawasi jalannya transaksi keuangan dalam lembaga keuangan,
dan untuk bentuk melindungi, OJK melayani berbagai pengaduan seputar
permasalahan lembaga keuangan, baik pengaduan dari nasabah ataupun pengaduan
dari pengelola lembaga keuangan. (Iska, Nengsih, 2016: 192-194)
C.
Mekanisme Kerja OJK dan LPS
1.
Mekanisme Kerja OJK
OJK harus
senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
a. Memberikan informasi keuangan kepada BI
dan LPS sesuai tugas dan wewenang masing-masing, agar penyelenggaraan fungsinya
berjalan aktif dan baik. Informasi harus lengkap dan uptodate yang
diperoleh melalui akses langsung ke pusat informasi yang dipelihara OJK.
b. OJK wajib bertukar informasi dengan BI
dalam menyelenggarakan financial stability analisys.
c. OJK selaku otoritas pengatur tingkat
kesehatan bank wajib memelihara kerja sama yang baik dengan BI.
d. Secara berkala, OJK menyampaikan laporan
ke Menteri Keuangan tentang efisiensi dan kesehatan dari individual bank.
Untuk
mengantisipasi terjadinya suatu gangguan serius terhadap perekonomian nasional
yang diakibatkan oleh bank tertentu, disusun suatu mekanisme yang menciptakan
kerjasama antara OJK, BI, LPS dan Departemen Keuangan. (Dewi, 2006: 133)
2.
Mekanisme Kerja LPS
Berdasarkan
Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004, penjamin simpanan nasabah meliputi penjaminan
bentuk yang setara dengan simpanan bagi bank yang menggunakan prinsip syariah.
LPS berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama
dengan Menteri keuangan, BI dan Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan peran
dan tugas masing-masing.
Sejak
tanggal 22 Maret 2006, penjaminan oleh LPS meliputi simpanan paling banyak Rp 5
M per nasabah per bank. Nilai simpanan yang dijamin tersebut akan dikurangi
secara bertahap menjadi paling banyak Rp 1 M sejak 22 September 2006 dan paling
banyak Rp 100 juta sejak 22 Maret 2007.
Nilai
simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank.
Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil, saldo tersebut meliputi pokok
yang ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal
pencabutan izin usaha BUS, BPRS atau BUK yang menjadi induk UUS.
Pada
dasarnya, LPS bukanlah asuransi. Program penjaminan yang dilaksanakan LPS
dikenal deposit insurance, pertama kali digunakan di Amerika Serikat
tahun 1933 sewaktu mendirikan Federal Deposit Insurance Corporation
(FDIC). Deposit Insurance atau jaminan simpanan adalah jaminan yang
diberikan kepada nasabah penyimpan pada bank oleh penyelenggara penjaminan.
Saat ini,
sistem yang digunakan LPS adalah flat rate. Sistem ini mengandung
kelemahan karena dipercaya menimbulkan insentif bagi bank untuk meningkatkan
risiko dalam portofolio mereka. Apabila LPS telah menggunakan risk base
premium, maka permintaan perbankan syariah dapat dipenuhi dalam artian bank
syariah yang sehat membayar premi lebih rendah dibandingkan bank syariah yang
tidak sehat (Sutedi, 2009: 159-161)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Undang-undang No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pasal 2 Ayat 2, status OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
pihak lain, kecuali
untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di dalam pasal 3 disebutkan bahwa
OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan OJK dapat mempunyai
kantor
di
dalam dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas
simpanan nasabah penyimpan,
melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK
memiliki motto 3 M, yaitu: Mengatur, Mengawasi, dan Melindungi. Bentuk
pengaturan adalah berkaitan dengan perizinan lembaga keuangan, bentuk
pengawasan adalah mengawasi jalannya transaksi keuangan dalam lembaga keuangan,
dan untuk bentuk melindungi, OJK melayani berbagai pengaduan seputar
permasalahan lembaga keuangan, baik pengaduan dari nasabah ataupun pengaduan
dari pengelola lembaga keuangan.
Mekanisme
kerja OJK harus senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
e. Memberikan informasi keuangan kepada BI
dan LPS sesuai tugas dan wewenang masing-masing, agar penyelenggaraan fungsinya
berjalan aktif dan baik. Informasi harus lengkap dan uptodate yang
diperoleh melalui akses langsung ke pusat informasi yang dipelihara OJK.
f. OJK wajib bertukar informasi dengan BI
dalam menyelenggarakan financial stability analisys.
g. OJK selaku otoritas pengatur tingkat
kesehatan bank wajib memelihara kerja sama yang baik dengan BI.
h. Secara berkala, OJK menyampaikan laporan
ke Menteri Keuangan tentang efisiensi dan kesehatan dari individual bank.
Mekanisme
kerja LPS, berdasarkan Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004, penjamin simpanan nasabah
meliputi penjaminan bentuk yang setara dengan simpanan bagi bank yang
menggunakan prinsip syariah. LPS berfungsi menciptakan dan memelihara
stabilitas sistem keuangan bersama dengan Menteri keuangan, BI dan Lembaga
Pengawas Perbankan sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dewi,
Gemala. 2006. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. (Jakarta : Kencana)
Iska, Syukri danNengsih,
Ifelda.2016. Manajemen Lembaga Keuangan Syariah Non Bank. Padang: CV.
Jasa Surya.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan
Ilustrasi. (Yogyakarta : Kampus Fakultas Ekonomi UII)
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan
Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia)
sangat membantu sekali artikenya kak
BalasHapus